Sebelumnya, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengungkapkan penempatan TNI dan Polri di jabatan sipil bisa mengembalikan dwifungsi ABRI.
Adapun hal itu berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang manajemen ASN yang mana nantinya jabatan ASN yang bisa diisi oleh prajurit TNI dan personel Polri.
PP tersebut merupakan aturan pelaksana dari revisi UU ASN yang pada tahun lalu berhasil disahkan.
"Itu sebenarnya konsepsi perundang-undangan yang substansinya keliru. Karena Undang-Undang ASN dari segi judulnya saja sudah sangat bersifat Undang-Undang khusus. Jadi dari segi konseptualnya saja sudah keliru," kata Usman Hamid kepada Tribunnews.com di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Jumat (15/3/2024).
Kemudian diungkapkannya bahwa hal itu membuat reformasi TNI jadi menyimpang.
"Salah satu agenda reformasi TNI yang penting adalah menghapuskan fungsi-fungsi kekaryaan. Dan itu ditegaskan dalam TAP MPR 2000 tentang peran TNI dan Polri," jelasnya.
Dalam TAP MPR tahun 2000 itu, kata Usman Hamid anggota TNI dan Polri aktif tidak dapat menduduki jabatan sipil.
"Kalaupun mau ditempatkan secara resmi dia harus mengundurkan diri. Tidak ada kecuali untuk semua posisi," tegasnya.
Kemudian dijelaskannya aturan pengecualian baru ada pada tahun 2004.
"Komprominya hanya dibatasi pada pos-pos tertentu yang sektornya memang berkaitan dengan TNI dan Polri. Misalnya Kemenko Polhukam, Kemenhan dan badan penyelamatan serta pencarian," sambungnya.
Meski begitu Usman menjelaskan bahwa kompromi itu hanya bersifat sementara. Dan dievaluasi 5 sampai 10 tahun, kemudian dihilangkan.
"Jadi seharusnya undang-undang TNI itu sudah direvisi dan diperbarui. Dan ketentuan yang sifatnya kompromi masih membuka celah bagi kembalinya dwifungsi ABRI dipersempit lagi," kata Usman.
Tetapi dikatakan Usman Undang-Undang ASN justru berkontribusi sebaliknya.
"Malah membuat batasnya menjadi kabur kembali. Seolah-olah sesuatu yang lumrah kalau TNI bisa dimasukkan ke dalam jabatan sipil," tegasnya.