Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fahmi Ramadhan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyewaan peralatan processing pelogaman timah atau sewa smelter antara PT Timah Tbk dengan lima perusahaan smelter swasta ternyata tanpa adanya pembahasan di rapat direksi.
Hal itu diungkapkan mantan Direktur Keuangan PT Timah Tbk Emil Ermindra saat menjadi saksi mahkota untuk terdakwa Harvey Moeis dan dua petinggi PT Refined Bangka Tin (RBT) yakni Suparta dan Reza Ardiansyah di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (26/9/2024).
Baca juga: Hakim Geram Eks Dirut PT Timah Mengaku Tak Tahu Harvey Moeis Bos PT RBT: Saudara Jangan Begitu
Mulanya Ketua Majelis Hakim Eko Aryanto menggali pengetahuan Emil soal biaya yang dikeluarkan PT Timah untuk kerja sama smelter swasta khususnya dengan PT RBT.
"Saudara mengetahui gak biaya sewa smelter khususnya dengan RBT? Apakah benar 4 ribu (USD) jadi dibedakan antara RBT dengan 5 smelter lainnya?," tanya Hakim Eko.
Emil mengakui bahwa terdapat perbedaan harga terkait biaya sewa smelter itu antara PT RBT dengan 4 smelter swasta yang lain.
Hanya saja ketika dicecar hakim mengaka terdapat perbedaan biaya dalam penyewaan itu, Emil mengaku tidak tahu.
"Iya dibedakan," jawab Emil.
"Apa benar RBT 4 ribu yang lainnya 3.700 dollar AS per metrik ton?," tanya Hakim.
"Iya," sahut Emil.
"Kenapa kok dibedakan?," tanya Hakim.
Baca juga: Saksi Sebut Izin Tambang PT Timah Tak Seluruhnya Bisa Diawasi Dinas ESDM Babel
"Saya tidak tahu alasannya," ucap Emil.
Kemudian Hakim pun coba mendalami siapa sosok yang menentukan harga penyewaan smelter-smelter tersebut.
Terlebih kata hakim terdapat perbedaan harga yang dibayarkan oleh perusahaan pelat merah itu kepada perusahaan swasta.
Lalu Emil menyatakan yang menentukan besaran biaya sewa untuk lima smelter tersebut adalah mantan Direktur Utama PT Timah Tbk Mochtar Riza Pahlevi dan mantan Direktur Opersional PT Timah Alwin Albar.
"Siapa yang menentukan? 4 ribu atau 3.700?," tanya Hakim.
"Yang menentukan kalau berdasarkan hasil rapat itu adalah Dirops dan sudah diputuskan oleh Dirut," kata Emil.
Setelahnya hakim kembali mendalami soal keputusan biaya sewa tersebut.
Hakim bertanya apakah yang dimaksud rapat oleh Emil adalah rapat direksi atau bukan.
Saat itu Emil pun menjawab bahwa pembahasan biaya sewa smelter itu bukan dibahas di rapat level direksi.
"Maksudnya itu dipaparkan di level direksi?," tanya Hakim.
"Tidak Yang Mulia," ucap Emil.
Emil pun menegaskan Riza Pahlevi selaku Dirut pada saat itu sudah pasti mengetahui perihal penentuan biaya sewa khususnya ke RBT yakni 4.000 USD.
Akan tetapi ketika ditanya mengapa terdapat perbedaan biaya antara para smelter, Emil mengaku tidak tahu.
"Tapi apakah direktur utama pada akhirnya tahu enggak mengenai angka 4 ribu?," tanya Hakim Eko.
"Oh pasti mengetahui, karena yang memutus dia," ucap Emil.
"Tapi saudara tidak tahu kenapa dibedakan ini (soal harga)?," tanya Hakim.
"Tidak tahu Yang Mulia," pungkas Emil.
Sebagai informasi, Harvey Moeis dalam perkara ini secara garis besar didakwa atas perbuatannya mengkoordinir uang pengamanan penambangan timah ilegal.
Atas perbuatannya, dia dijerat Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP terkait dugaan korupsi.
Selain itu, dia juga didakwa tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait perbuatannya menyamarkan hasil tindak pidana korupsi, yakni Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dan sebagai informasi, berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun.
Perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.
Kerugian negara yang dimaksud jaksa, di antaranya meliputi kerugian atas kerja sama penyewaan alat hingga pembayaran bijih timah.
Tak hanya itu, jaksa juga mengungkapkan, kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan nilainya mencapai Rp 271 triliun.
Hal itu sebagaimana hasil hitungan ahli lingkungan hidup.