"Data badan geologi setiap 20 tahun sekali ada pergerakan tanah atau longsor. Bahkan tiap detik tanah tersebut juga bergeser kecil. Cirinya kalau musim hujan tidak ada air mengalir atau keluar ke tanah berarti khawatir akan terjadi longsor besar kalau keluar air mengalir berarti longsor kecil," katanya.
8 KK masih bertahan
Hingga saat ini masih ada delapan KK yang masih menempati wilayah yang kian hari makin menyeramkan.
Salah satunya, Karmidi (65) yang sudah 36 tahun lamanya menempati Blok Tarikolot tersebut.
Ia mengatakan, dirinya dibawa mendiang istrinya untuk tinggal di blok tersebut.
Saat itu, kampung istrinya itu sangat asri dengan latar kehijauan khas daerah pegunungan.
"Sebelum masuk zona merah, kampung saya enak. Adem, sejuk, khas pegunungan," ujar Karmidi kepada Tribuncirebon.com, Rabu (3/2/2021).
Namun, kemudian tahun 2006 lalu, bencana dahsyat pergerakan tanah membuat dirinya sangat khawatir.
Baca juga: Pelabuhan Patimban Lengkapi Fungsi BIJB Kertajati di Majalengka
Saat kejadian sore hari itu, ia mendengar suara gemuruh yang sangat keras dari arah Utara.
"Ternyata ada gerakan tanah. Bencana itu juga membuat rumah yang berada di lereng rusak dan banyak tertimbun. Untungnya, saya mah rumahnya di tempat yang datar," ucapnya.
Ia mengaku, usai peristiwa itu, banyak tetangganya yang langsung pindah meninggalkan rumahnya.
Takut ada bencana susulan menjadi alasan utamanya.
"Tapi karena saya sudah betah, cinta kampung istri saya, saya tidak pindah. Di samping itu, saya juga punya ladang pertanian, kalau pindah jauh," jelas dia.
Sebagian dari artikel ini telah tayang di Tribuncirebon.com dengan judul Cerita Karmidi Memilih Tinggal di 'Kampung Mati' Majalengka, Terlanjur Cinta Kampung Mendiang Istri