Berbekal pengalamannya yang kaya selama mengurus pabrik gula paling modern di Jawa masa itu, ia dengan begitu percaya diri beralih profesi menjadi pedagang.
Dalam konteks era tersebut, Mangkunegoro VI menolak segala bentuk sistem kolonial dengan cara walk out, keluar total dari keadaan macam demikian, dan bergabung dengan komunitas baru di Kota Surabaya yang lebih progresif, di mana selanjutnya putra dan menantunya melanjutkan konsep tata negara yang tidak dapat dilaksanakan melalui sebuah Kadipaten.
“Mangkunegoro VI adalah paket komplet seorang pemimpin baru: sederhana, piawai, dan berani. Dengan mempertimbangkan segala aspek kelebihan dan kelemahannya selama memerintah Praja Mangkunegaran, kami kira ia cocok disebut sebagai personifikasi raja baru di awal abad ke-20: the king in the turning of a century,” tutur Bondan Kanumoyoso.
Sikap dan pemikiran Mangkunegoro VI yang berani dan progresif dalam memimpin serta melakukan perubahan mendasar dalam urusan keuangan, fashion, aturan tata krama, gaya hidup di keraton, hingga multikulturalisme dan kebebasan beragama diharapkan mampu menginspirasi anak muda masa kini untuk jadi pembaru di kehidupannya.
TENTANG ASTANA OETARA
Pasarean Keluarga (Makam) Astana Oetara adalah rumah peristirahatan terakhir Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario (K.G.P.A.A.) Mangkunegoro VI (1896-1916) dan keturunannya, beserta pegawai Mangkunegaran yang dianggap memiliki jasa besar pada era kepimimpinan K.G.P.A.A. Mangkunegoro VI.
Makam ini dibangun pada tahun 1926, menempati lahan seluas ±1,4 hektare berlokasi di Desa Manayu atau Nayu, Kelurahan Nusukan, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta.
Keberadaan Makam Astana Oetara memiliki keunikannya sendiri, dengan desain arsitektur bergaya paduan arsitektur Jawa dan Eropa (Art Nouveau), yang membedakan makam ini dengan Makam Raja-raja Mangkunegaran lainnya karena lokasinya yang berada di tengah kota.
K.G.P.A.A. Mangkunegoro VI memilih lokasi Nayu sebagai tempat peristirahatan terakhirnya, dengan alasan agar lebih dekat dengan rakyat. Ir. Soekarno yang di kemudian hari menjadi Presiden pertama Republik Indonesia adalah arsitek Astana Oetara.
Di komplek pemakaman ini, terdapat juga makam pejuang pergerakan kemerdekaan K.P.H. Soejono Handajaningrat (Putra K.G.P.A.A. Mangkunegoro VI) dan tokoh nasional, yaitu K.R.M.H. Jonosewojo, pejuang kemerdekaan dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Jawa Timur yang pernah menjadi Komandan Divisi VII Kodam Brawijaya, serta makam tokoh pejuang Reformasi Roy B.B. Janis.
Astana Oetara memiliki empat bangunan utama, yaitu Kedaton Makam K.G.P.A.A. Mangkunegoro VI, Pendopo Pantjasila ing Handayaningratan, Masjid Astana Oetara, dan Galeri.
Pendopo Pantjasila ing Handayaningratan saat ini menjadi lokasi berbagai kegiatan publik dalam bidang kesenian, budaya, dan keagamaan, antara lain kegiatan budaya Laras Madyo, Mocopatan, diskusi kebudayaan, kegiatan ibadah, dan Festival Grebeg Astana Oetara.
Dengan mempertimbangan sejarah dan budayanya yang bernilai tinggi, pada 21 Mei 2021, Pemerintah Kota Surakarta menetapkan Astana Oetara sebagai Cagar Budaya, melalui Surat Keputusan Walikota Surakarta Nomor 432.22/50.1 Tahun 2021 tentang Status Cagar Budaya di Kota Surakarta yang Ditetapkan Tahun 2021.
Saat ini, pengelola Pasarean Keluarga Astana Oetara Nayu adalah Perkumpulan (berbadan hukum) Keluarga Soejono Soewasti yang menaungi Trah Mangkunegoro VI. (*)