Fajar menyebut online scam adalah modus baru untuk TPPO dan banyak terjadi di wilayah Asia Tenggara, terutama Kamboja dan melibatkan WNI sebagai korban.
Dalam kasus-kasus yang ditangani Kemlu, korban online scamming mengalami kerja paksa, tidak mendapat upah layak, dan ditahan sehingga tidak bisa pulang.
“Modus rekrutmennya seperti lewat beberapa pihak secara online via media sosial atau internet, dengan promosi yang menggiurkan. Korban diperdaya menjual produk investasi atau sebagai customer service judi online di negara-negara yang melegalkan judi, e-commerce, atau start-up. Mereka diiming-iming gaji fantastis, persyaratan mudah, namun saat tiba di lokasi mereka dilatih untuk melakukan scamming,” tambah Fajar.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Kalimantan Barat, Kombes Pol. Bowo Gede Imantio, menjelaskan bahwa modus online scamming diawali dengan rekrutmen pekerjaan yang menyasar korban dengan latar belakang melek teknologi dan punya pengetahuan seperti customer service, telemarketing, atau operator judi online.
“Penawaran gaji 600-1.200 USD per bulan tanpa menyebut nama perusahaan. Dan pola keberangkatannya hanya menggunakan paspor untuk administrasi, sebagian tidak dikenakan biaya keberangkatan namun ada juga yang dimintai uang sebesar 5-30 juta rupiah. Sebagian diperangkap dan dililit hutang sehingga tidak bisa pulang, sebelum melunasinya,” jelas Bowo.
Ia juga menambahkan bahwa ketika PMI dipekerjakan, umumnya tidak ada kontrak kerja dan ditempatkan pada gedung dengan pengawasan ketat.
Untuk menindaklanjuti perkara TPPO yang terjadi di luar negeri, diperlukan kerja sama dengan penegak hukum setempat.
Sehingga, yang bisa ditangani langsung oleh kepolisian adalah yang terjadi di Indonesia, dengan korban dan saksi yang juga berada di tanah air.
“Lima kabupaten di Kalbar berbatasan langsung dengan Malaysia dan terdapat 67 jalur tikus di sepanjang perbatasan. Ditambah tingginya angka pengangguran yakni 129,22 ribu jiwa dan didukung kemudahan akses jalur darat, mempengaruhi peningkatan potensi TPPO di Kalbar,” tambah Bowo.
Ketua Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, Budi Hermawan Bangun, menyebut bahwa modus online scamming memiliki karakteristik yang berbeda dari perdagangan orang yang dulu umumnya terjadi.
“Yang membedakan adalah faktor-faktornya tidak melulu adalah masalah pendidikan yang rendah. Justru, model perdagangan orang seperti ini malah menyasar yang punya pendidikan dan keahlian tertentu yang melek teknologi dan berusia muda. Mereka akan dipaksa untuk bekerja pada jaringan penipuan online,” jelas Budi.
Forum Literasi Hukum dan HAM Digital berlangsung secara hybrid dan dihadiri oleh lebih dari 350 peserta daring maupun luring. Melalui forum ini diharapkan dapat mendorong kesadaran masyarakat serta meningkatkan partisipasi publik untuk bersama-sama berperan aktif mewaspadai potensi TPPO melalui online scamming.