TRIBUNNEWS.COM - Pro dan kontra timbul menyikapi tuntutan bebas Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap guru Supriyani, guru honorer SDN 4 Baito, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.
Dua di antaranya datang dari mantan Menko Polhukam Mahfud MD dan eks Kabareskrim Komjen (Purn) Susno Duadji.
Mahfud MD dan Susno Duadji memiliki pandangan berbeda terhadap sikap JPU dalam menuntut Supriyani di Pengadilan Negeri (PN) Andoolo.
Sebelumnya diberitakan, JPU memberikan tuntutan bebas karena sang guru dianggap tak memiliki niatan jahat saat memukul D yang merupakan anak Aipda WH.
Kendati demikian, JPU tetap meyakini Supriyani melakukan pemukulan terhadap korban.
Pembacaan tuntutan bebas dilakukan oleh Kepala Kejari Konawe Selatan, Ujang Sutisna yang juga selaku JPU pada Sidang lanjutan di PN Andoolo Konawe Selatan, Senin (11/11/2024).
Adapun berikut perbedaan tanggapan dari Mahfud MD dan Susno Duadji atas tuntutan bebas jaksa kepada Supriyani.
Mahfud MD
Mahfud MD menyebut tak ada yang aneh dari tuntutan bebas Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada guru honorer di Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra) itu.
Menurut Mahfud, sebelumnya ada banyak kasus serupa, di mana pelaku tindak pidana tidak dihukum meski terbukti melakukan kejahatan.
"Dalam hukum pidana ada banyak kasus dan banyak peristiwa di mana orang yang melakukan tindak pidana tidak harus dihukum meski terbukti, kalau tidak ada mens rea-nya," ucap Mahfud, dalam kanal YouTube-nya, Rabu (13/11/2024).
Baca juga: Update Kasus Ivan Sugianto Suruh Siswa SMA Sujud dan Menggonggong: Polisi Telah Periksa 8 Saksi
"Oleh sebab itu, dalam hukum pidana ada alasan pemaaf. Anda mau ditusuk orang lalu Anda tusuk duluan, enggak bisa dihukum."
Mahfud menganggap tak ada yang perlu dipermasalahkan dari tuntutan bebas Supriyani.
Menurutnya, tuntutan tersebut hanya berkaitan dengan budaya di Indonesia.
"Enggak ada masalah di situ, sudah biasa kayak gitu. Saya kira benar tuntutan jaksa, karena itu berkaitan dengan budaya," ujar Mahfud.
"Budaya kita kan guru memukul murid, benar atau tidak, masa gurunya mau dihukum?"
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu lantas menyinggung budaya pendidikan di Indonesia.
Ia menilai, saat ini banyak orangtua siswa yang tak terima saat anaknya ditegur oleh guru.
"Saya tidak bisa bayangkan, sekarang ini orangtua murid banyak sekali kalau anaknya dimarahi guru, gurunya yang diserang, gurunya yang dihina, apalagi kalau di swasta," jelas Mahfud.
"Lalu yang guru itu disuruh dipecat oleh ketua yayasan. Kalau PNS, katanya pelanggaran HAM, pelanggaran Undang-undang Perlindungan Anak."
Budaya tersebut, kata Mahfud, berbanding terbalik dengan masa sekolahnya dulu.
Mahfud menceritakan, siswa dipukul atau ditegur oleh guru merupakan hal yang biasa saat itu.
"Loh saya waktu sekolah tahun 60-70an, kalau saya dipukul oleh guru karena saya melakukan kesalahan, orangtua saya malah senang," paparnya.
"Kalau saya lapor malah dimarahi, didatangi gurunya dibilang 'Pukul lagi aja, terima kasih sudah memukul anak saya, sudah mendidik'."
"Sekarang malah orang tuanya datang, gurunya yang diamuk," tandas Mahfud.
Susno Duadji
Susno Duadji memberikan pandangannya terkait tuntutan bebas yang dilayankan kepada guru honorer, Supriyani.
Susno dalam kesempatannya menguliti tiga kesalahan jaksa dalam kasus Supriyani.
Pertama menurutnya, jaksa sudah sejak awal salah menerima berkas kasus ini.
"Dari awal jaksa telah melakukan tiga kesalahan di dalam menegakkan keadilan. Pertama menerima berkas perkara supriani," katanya, dikutip dari kanal YouTube NusantaraTV, Rabu (13/1//2024).
Susno menilai tidak adanya bukti yang menunjukkan Supriyani melakukan pemukulan terhadap murid di sekolahnya.
Namun malah sebaliknya, bukti terbut 'membela' Supriyani.
"Justru alat bukti yang ada menunjukkan Supriyani tidak melakukan yang disangkakan oleh penyidik," tegas Susno.
Susno melanjutkan, kesalahan kedua terjadi ketika jaksa melakukan penahanan kepada Supriyani usai ditetapkan tersangka.
Meskipun pada akhirnya, Supriyani dibebaskan melalui mekanisme penangguhan penahanan.
"Kesalahan ketiga ya ini, buat tuntutan yang agak aneh," lanjutnya.
Susno melanjutkan, sebetulnya jaksa menuntut bebas bukan hal baru.
Sudah terjadi beberapa kali dalam kasus jaksa memberikan tuntutan bebas kepada terdakwa.
Menurut Susno jaksa tidak diharamkan melakukan hal tersebut.
"Itu tidak diharamkan, dihalalkan oleh hukum acara kita. Penyidik boleh menghentikan penyidikan bahkan Jaksa boleh menghentikan penuntutan, bahkan Jaksa boleh menuntut bebas untuk keadilan itu nuntut bebas itu tidak aneh," urainya.
Susno menyebut, keanehan dalam tuntunan bebas Supriyani terletak di alasannya.
Jaksa meyakini perbuatan Supriyani menganiaya muridnya benar terjadi, namun tidak ada mens rea (niat jahat).
"Anehnya yang kita tidak terima itu adalah alasannya alasannya."
"Kalau mau dibebaskan sekali saja langsung saja dikatakan perbuatannya tidak terbukti, maka dia harus bebas seharusnya Jaksa bisa melakukan itu," ucapnya.
Susno juga mengkritik penyusuan isi tuntuan yang dinilai berantakan.
"Ini gimana pateng pletot (berantakan) kalau begitu cara dia membuat surat tuntutan. Ya wajar aja (kasusnya berlarut-larut, red)," tegasnya
Jaksa cari aman?
Kuasa hukum guru Supriyani, Andri Darmawan buka-bukaan terkait tuntutan bebas yang dilayangkan kepada kliennya.
Andri menegaskan, tuntutan untuk Supriyani bukanlah tuntutan bebas.
"Bukan tuntutan bebas ya, jadi dia (JPU) menuntut lepas dari segala tuntutan hukum," katanya, dikutip dari kanal YouTube NusantaraTV, Rabu (13/1//2024).
Andri menyebut, JPU menganggap bahwa Supriyani melakukan perbuatan pemukulan, tapi bukan tindakan pidana.
Di matanya, tuntutan bebas yang diberikan, agar posisi JPU aman di mata publik.
"Kalau menilai bahwa sepertinya jaksa cari aman saja."
"Karena di satu sisi dia menyatakan Supriyani terbukti melakukan perbuatan (pemukulan), tapi di sisi lain dia menuntut bebas," lanjutnya.
Pada akhirnya, Andri menilai tuntutan bebas JPU memiliki keanehan.
Kejanggalan tersebut berasal dari pertimbangan JPU untuk menuntut bebas Supriyani.
"Aneh ya karena kalau kami lihat pertimbangannya bahwa, kenapa dia menuntut lepas."
"Menuntut lepas karena menurut Jaksa tidak ada mens rea niat jahat di situ terhadap apa yang dilakukan Supriyani."
"Menurut kami tuntutan JPU yang menyatakan Supriyani melakukan pemukulan itu itu cuma berdasarkan asumsi," urainya.
Baca juga: Peran Iptu Idris dalam Kasus Supriyani, Dicopot dari Jabatan Kapolsek Baito, Diduga Minta Uang Damai
Keragu-raguan jaksa
Andri kemudian menyoroti jalannya sidang dari awal hingga pembacaan tuntutan.
Ia menyebut, selama sidang jaksa kokoh dalam pendiriannya menyebutkan kejadian pemukulan terjadi pada jam 10.
Namun ketika saksi-saksi dihadirkan, waktu tersebut berubah-ubah.
"Di persidangan anak-anak ini semua berubah keterangannya, jadi ada yang mengatakan anak korban (pemukulan terjadi pada) jam 08.30."
"Kemudian ada yang menyatakan jam 10, ada saksi yang menyatakan tidak tahu," katanya.
Ia menilai, jaksa kebingungan menentukan waktu kejadian.
Namun pada akhirnya, jaksa meyakini kejadian dalam rentan waktu jam 10.00.
"Nah ini kan keragu-raguan yang kami lihat bahwa Jaksa sebenarnya tidak bisa memetakkan dengan jelas kapan (kejadian pemukulan)."
"Jaksa cuma mendasarkan keterangan anak yang di dalam BAP itu semua serentak mengatakan jam 10.00," papar Andri.
Andri juga menyoroti jaksa tidak bisa menguraikan secara jelas kronologi Supriyani dituding melakukan pemukulan kepada murid di sekolahnya.
"Jaksa meyakini bahwa pada saat kejadian pemukulan, tiba-tiba Supriyani masuk ke kelas korban dan langsung memukul. Nah ini memang tuntutan yang absurd menurut kami," tegasnya.
Atas tuntutan bebas ini, Andri akan mengajukan pledoi yang akan disampaikan dalam sidang pada Kamis (14/11/2024) besok.
Sebagian artikel ini telah tayang di TribunnewsSultra dengan judul "Meski Guru Supriyani Dituntut Bebas, Kuasa Hukum Andri Darmawan Kritik Jaksa Soal Penuntutan"
(Tribunnews.com/Chrysnha, Jayanti, Yohannes, Endra)(TribunnwesSultra/Aprilian Suriyanti/Laode Ari)