Potensi Religi ini yang berbentangan di batas antara Rumah Ibadah dan Rumah Keluarga, jika terolah dan termenej kedalam kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara dengan kemampuan toleransi antar sesama penganut agama, maka keharmonisan dalam Rumah Indonesia akan membawa berkah gemilang. Untuk mengoptimalkannya dan didorong oleh semangat menggapai kejayaan dalam rangka mewujudkan cita-cita kemerdekaan, mari kita renungkan apa maksud adanya sila ini seraya meraih kedalaman nurani untuk mewujudkan (to realize) Indonesia selaras Jasmani dan Rohani, Lahir dan Batin.
Upaya menyublimkan sari nilai sila Pertama Pancasila perlu dianjungkan sebagai ruh motivasi Gerakan Aksi Langsung Amalkan Sejak Dini (GALAKSI) sila-sila empat lainnya di tengah-tengah masyarakat kedalam segala tata prilaku, tindak tanduk hubungan sosialnya serta arah wawasan kebangsaan, sehingga tercipta tatanan masyarakat negara yang mengindahkan etika-moral dan nilai kebenaran yang bersumber dari keyakinan relijius para pelaku. Agar upaya-upaya penyatuan asas-asas keterpaduan dapat menembus seluruh sisi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Suasana kehidupan beragama yang kondusif adalah prasyarat membangun bentuk dan konsep Galaksi (Gerakan Aksi Langsung Amalkan Sejak Dini) Pancasila, agardapatditerima sebagai sebuah modal sosial untuk menempatkan potensi umat beragama sebagai agen pembaharuan yang berdaya kohesif dalam mewujudkan Negara Kesejahteraan. Dalam suasana relijiusitas yang kental, yang mampu memberikan landasan bagi prakarsa-prakarsa positif pembangunan sosial, memungkinkan anak Bangsa berperan menyemangati implementasi ajaran agama itu sendiri dalam capaian-capaian komitmen kebangsaan.
Untuk menjangkau wawasan-wawasan kebangsa¬an yang integratif dalam Galaksi (Gerakan Aksi Langsung Amalkan Sejak Dini) Pancasila, seluruh amanat kebangsaan yang dipikul dan diemban anak bangsa harus mampu mengandungi 3 (tiga) komitmen mendasar.
Pertama, bahwa Toleransi antar umat beragama adalah toleransi untuk memuliakan manusia atas dasar kesempurnaan penciptaannya yang bersumber dari kejujuran diri, akal sehat, Budi pekerti dan kemampuan mentaati ajaran Agama itu sendiri.
Kedua, suasana kehidupan berbangsa dan bernegara yang dinamis sesungguhnya sangat tergantung dari tumbuhnya pendirian rumah-rumah ibadah di tanah air yang mampu mengilhami etos kerja yang bermutu, sikap diri yang baik dan mental untuk hidup maju dan mulia.
Ketiga, penguatan kehidupan rohani yang partisipatoris dalam andil pengembangan masyarakat yang mandiri dan maju adalah modal besar meneguhkan eksistensi NKRI di dalam arus Globalisasi yang tengah menghampiri kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Sila pertama ini merupakan pilar untuk memberikan ruangan seluas-luasnya bagi semaraknya perikehidupan keagamaan yang dipraktikkan oleh komuniter-komuniter masyarakat yang sadar sepenuhnya, bahwa mendisain Manusia Indonesia Pari- purna adalah satu bentuk konsolidasi nasional. Yakni suatu konsolidasi anak Bangsa yang terus menerus memberikan penguatan pada kehidupan rohani segenap komponen Bangsa dalam menaikkan Kualitas Kapasitas Nasional. Sehingga terbitSumber Daya Insani yang berkarakter, tegas, amanah, tekun dan antusias mendedahkan cita-cita bangsa yakni mandiri, maju, dan sejajar di lingkungan pergaulan Internasional.
Pranata-pranata sosial yang lestari di tengah masyarakat di tanah air, yang menjunjung kebijaksanaan atas kearifan lokal, sesungguhnya patut dilestarikan sebagai aset budaya bangsa. Dengan suatu ancangan penyingkapan bahwa sejatinya gugusan negeri lintasan katulistiwa apitan dua samudra dunia yang kita banggakan ini adalah Negeri Gemintang yang sarat dengan aktivitas-aktivitas relijius dan sikap kerohanian dari para penduduknya. Hal ini menjadi sumber inspirasi anak Bangsa mewujudkan cita-cita proklamasi dan bekalan untuk mengarung kemerdekaan.
Dalam Galaksi (Gerakan Aksi Langsung Amalkan Sejak Dini) Pancasila dibutuhkan upaya maksimal mengasah kepekaan hati untuk memandu tugas-tugas kemasyarakatan yang sarat dengan nilai-nilai keberpihakan pada kemuliaan ajaran agama; dan dalam mewujudkan suatu umat taat ajaran dan inspiratif bagi kemajuan bangsa menjadi bekalan kejayaan Negeri dalam mengawal cita-cita Prokla- masi. Terutama terhadap keutamaan hak-hak kemanusiaan, perlindungan oleh Negara Bangsa, dan penghormatan dalam prinsip-prinsip Demokrasi Pancasila serta maksimalisasi capaian kesejahteraan dalam keadilan bagi seluruh anak Bangsa.
Persatuan Indonesia merupakan satu di antara empat sila lainnya dari Pancasila, yang secara kasat mata menjadi pilar eksistensi bangsa yang kita miliki ini, bangsa Indonesia. Sangatlah jelas jika konsep Persatuan Indonesia selama ini senantiasa diberi makna berkaitan dengan Kebudayaan Nasional, khususnya kebahasaan.
Memang, keadaan kebahasaan di Bumi Pancasila tercinta ini amat kompleks karena terdapat sejumlah besar bahasa. Di samping bahasa Indonesia (Bl) dipakai juga bahasa-bahasa daerah (BD), yang konon lebih dari 760 -an jumlahnya, berserta variasi- variasinya, dan bahasa asing (BA) tertentu, yang dipakai dalam kehidupan sosial serta aktivitas sehari- hari kita ini, sesuia dengan fungsi, situasi, serta konteks penggunaannya.
Gambaran tersebut jelas menunjuklcan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa multilingual/multikultur/multietnik. Bahkan jika dihubungkan dengan adanya variasi-variasi bahasa tersebut, yang berbeda-beda fungsi sosiolinguistiknya, keadaan kebahasaan kita ini juga diglosik (ada pemakaian bahasa resmi dan bahasa takresmi). Namun, itu semua haruslah dianggap sebagai sebuah anugrah dari Yang Maha Pencipta, sesuatu yang senantiasa harus disyukuri.
Dengan kata lain, ciri multilingual/multikultural tersebut haruslah dianggap sebagai khazanah kebuadayaan, yang justru memperkaya manifestasi kebudayaan Indonesia, bukan untuk mempertajam pembedaan-pembedaan wilayah budaya/bahasa; semboyan bangsa Bhinneka Tunggal Ika itu harus mendapatkan tempatyang nyata dalam kebijaksana- an penghidupan budaya nasional dan daerah, bahkan akan lebih terarah menuju terwujudnya suatu kehidupan kebudayaan yang didukung oleh segenap golongan budaya di seluruh Nusantara ini. Seperti halnya dengan masalah kebahasaan; implementasi pembagian fungsi dan kedudukan bahasa-bahasa tersebut secara umum sudah jelas: Bl berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara/bahasa resmi, BD berfungsi sebagai bahasa komunikasi intradaerah, dan BA berfungsi sebagai bahasa komunikasi internasional umum. Dengan dasar amanat Sumpah Pemuda 1928, dalam kedudukan- nya sebagai bahasa nasional, antara lain, ia berfungsi sebagai lambang jati diri nasional, lambang kebanggaan nasional, dan alat pemersatu berbagai kelompok etnik yang berbeda latar belakang sosial budaya dan bahasa di bumi Pancasila ini.
Kaitannya dengan Globalisasi, peran Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa yang multilingual/multikultural amat diperlukan di dalam menyikapi nilai-nilai asing yang menginviltrasi budaya kita. Nilai- nilai baru itu tentunya harus diseleksi, sehingga sebagai ideologi terbuka, Pancasila berperan sebagai filter dalam memilah-milah nilai-nilai yang masuk itu. Bahkan, sebagai ideologi atau ajaran, Pancasila akan berperan sebagai koridor yang memberikan arahan secara baik dan benar sehingga masyarakat tetap berada dalam satu koridor di dalam mencapai tujuan bersama. Untuk itu, pemimpin-pemimpin bangsa tercinta dari semua level harus memfungsikan Pancasila dalam kerangka fungsi alat pemersatu atau alat perekat bangsa, bahkan pemandu bangsa dalam membangun budaya nasional dan peradaban.
Sebagai contoh, globalisasi yang bersumberkan kebudayaan bangsa lain, khususnya Amerika, seperti Hollywood, dan India, seperti Bollywood, sedang mewarnai kehidupan warga bangsa kita, terutama kota-kota besar. Ini berkaitan dengan nilai-nilai dan produk dalam aneka bidang kehidupan, mulai dari hiburan dan kesenian hingga teknologi informasi, bahasa, bahkan pemikiran. Kesan dalam adalah bahwa globalisasi itu merupakan pengikisan nilai dan aneka unsur kebudayaan bangsa. Hal ini amat mengkhawatirkan akan melenyapkan jati diri bangsa dan citra bangsa kita pada masa akan datang. Bahkan, ini erat kaitannya dengan persoalan pertahanan keamanan, demi menjaga keutuhan nasional.
Pada akhirnya, aktualisasi dari Persatuan Indone¬sia itu ditandai oleh cara warga bangsa Indonesia berbuat, berprilaku, yang akan tercermin dalam tingkat penerimaan nilai/budaya lain yang menyerbu lumbung budaya negeri. Oleh karena itu, jika penghayatan, pemahaman, dan pengamalan sila ketiga dari Pancasila yang di masa lalu dilakukan secara tidak baik dan benar, untuk masa akan datang haruslah dapat diwujudkan dalam format yang lebih baik, misalnya dengan cara membangun Semesta Inisiatif Prilaku melalui berbagai instrumen sosialisasi dan edukasi keteladanan yang dipatrikan dalam sejarah juang pemimpin-pemimpin bangsa, pada seluruh tataran.
Yang menjadi catatan penting dalam membangun sinergitas nilai-nilai relijius Agama dan nilai kearifan tradisi dan budaya adalah semua tatanan itu meluncur mencapai menara kebudayaan yang manusiawi. Jika hal ini tidak terpenuhi, maka tidak mungkin sendi-sendi kehidupan berbangsa, dan tentu peradaban itu sendiri, terbangun rapih dan kokoh.
Nilai kemanusiaan adalah elemen nilai yang harus mengandungi setiap gerak relijiusitas ajaran dan aturan agama dan budaya maupun tradisi. Sebab yang akan menjalankan tatanan bentuk apapun, dan yang menerima efek-baliknya, adalah manusia sendiri.