Dalam posisinya sebagai auditor negara berdasarkan undang-undang dengan para pejabat yang disumpah, tentu mereka bekerja sesuai norma dan pranata hukum yang ada.
Penghitungan Kerugian Negara, didasarkan pada dua aspek yang dominan, yaitu masalah letak tanah dan nilai tanah.
Walaupun pada sertifikat tanah HGB yang dibeli tertulis alamat Jl. Kyai Tapa dan alamat SPPT PBB juga dengan alamat Jl. Kyai Tapa, tidak sertamerta menjadi penghitungan nilai tanah.
Tanah RSSW terdiri 2 bidang tanah, dengan sertifikat Hak Milik dan HGB.
Terpagar dalam satu pagar, dan satu pintu menghadap Jl. Kyai Tapa.
Dengan demikian logis, alamat administrasi kedua bidang tanah tersebut Jl. Kyai Tapa.
Tetapi kaitan nilai tanah dalam transaksi jual beli, apakah tiap bidang sama? Sebagai ilustrasi, samakah harga rumah dalam kawasan perumahan yang memiliki alamat sama? Tentu tidak sama, tergantung letak bidang tanahnya.
Pemerintah atau siapapun dalam kehidupan ini, beli sesuatu itu jelas bukan beli keterangan dalam surat.
Tetapi beli sesuatu itu secara fisik ada barangnya dan sesuai dengan dokumennya.
Dalam kaitan pemerintah membeli tanah, jelas bukan beli alamat, tetapi secara fisik letak tanah harus dinyatakan dalam sebuah ”Peta Bidang Tanah”.
Perpres No 71/2012 mengatur, Peta Bidang Tanah ini sebagai produk Tim Pengadaan Tanah yang dibentuk sebelum pembelian tanah.
Dalam kasus pembelian sebagian tanah RSSW ini, konon tidak ada tim yang dibentuk oleh Gubernur sehingga tidak ada produk peta bidang tanah sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan.
Masyarakat luas sudah mengetahui, bahwa tanah yang dibeli Pemprov DKI bersertifikat HGB, letaknya tidak di Jl. Kyai Tapa, tetapi di Jl. Tomang Utara. Dengan kata lain, jika kita mencari tanah tersebut di Jl. Kyai Tapa tidak akan diketemukan.
Padahal dokumen menyebut membeli tanah di Jl.Kyai Tapa dengan harga sesuai NJOP Jl. Kyai Tapa, Rp. 20.755.000/m2.