Di awal terjadinya hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja maka yang dilakukan adalah membuat perjanjian kerja. Perjanjian kerja biasanya dibuat dalam bentuk baku sehingga tidak ada celah atau kesempatan untuk calon pekerja memberikan penawarannya, sekalipun ada mungkin hanya untuk posisi-posisi tertentu dengan keahlian tertentu.
Maka sudah sangat jelas bahwa keseimbangan di awal perjanjian kerja sulit untuk ditemukan.Selanjutnya, karena perintah dari peraturan perundang-undangan maka pengusaha yang telah mempekerjakan pekerjanya minimal 10 orang wajib membuat Peraturan Perusahaan, yang dibuat atas kehendak dan kewenangan pengusaha dan tidak untuk disepakati oleh pihak pekerja.
Dengan demikian, keseimbangan sulit ditemukan.
Dalam perjalanannya, perusahaan dengan Peraturan Perusahaan-nya sejatinya banyak mengalami penolakan dari pekerja sehingga pada akhirnya pekerja membentuk SP yang tujuan utamanya memberikan perlindungan serta keadilan kepada pekerja melalui PKB sehingga kedudukan hukum perjanjian antara pengusaha dan pekerja dapat mendekati keseimbangan.
Pembentukan PKB dilakukan oleh dua pihak yaitu pengusaha yang diwakili manajemen, dan pekerja yang diwakili SP.
Masing-masing pihak membuat rancangan PKB untuk dirundingkan.
Di sini mulai terjadi tarik-menarik kepentingan dengan berbagai argumentasi yang pada akhirnya ketentuan dari UU menjadi bagian yang diakomodir, bukan karena suatu kesepakatan semata, melainkan sejatinya karena tidak ingin memberikan yang lebih tetapi tidak dapat pula untuk memberikan yang rendah, sehingga terhadap klausul tersebut sejatinya terikat karena UU, dengan kata lain masuk dalam perikatan yang lahir karena UU.
Baca juga: Cairkan Dana BLT UMKM Rp 1,2 Juta Tanpa Perlu Antre di BRI, Akses eform.bri.co.id/bpum
Setiap warga negara wajib tunduk terhadap hukum atau UU. Sifat UU memaksa dan keras, tidak bisa dikompromikan atau dikesampingkan untuk mengurangi manfaatnya meskipun dengan suatu kesepakatan.
Demikian pula jika suatu PKB yang dibuat berlandaskan UU yang berlaku sebelumnya bahkan mengakomodir beberapa ketentuan dari UU tersebut, maka jika terjadi perubahan terhadap UU, baik pengusaha maupun SP wajib tunduk kembali kepada ketentuan baru yang mengaturnya, bukan memaksakan keberlakuan ketentuan yang lama.
Mengakomodir ketentuan UU ke dalam sebuah perjanjian sejatinya bukan atas kesepakatan yang ikhlas, melainkan karena ketundukan warga negara terhadap UU.
Sehingga bila terdapat peraturan perundang-undangan yang baru maka peraturan yang lama tidak berlaku lagi sesuai asas hukum lex posterior derogat legi priori di mana warga negara diwajibkan tunduk terhadap peraturan perundang-undangan yang baru.
Dengan demikian ketentuan dalam PKB meskipun masa PKB masih berlaku, namun klausul yang mengatur dengan ketentuan UU yang lama berubah dengan sendirinya menggunakan ketentuan UU yang baru.
“Pada dasarnya ketentuan di dalam PKB yang menggunakan 100% ketentuan dari UU sejatinya bukan lahir dari suatu kesepakatan yang hakiki, melainkan dari ketundukannya terhadap UU.”
Berlakunya UU 11/2020 tentang Cipta Kerja
Dengan telah diundangkannya UU 11/2020 pada November 2020 dan juga dengan telah diundangkannya peraturan pelaksananya, maka telah terjadi perubahan pada beberapa pasal dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang diganti dengan ketentuan pada UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja beserta peraturan pelaksananya.
Oleh karena itu beberapa ketentuan pada UU 13/2003 yang telah diubah dengan UU 11/2020 sudah tidak mempunyai kekuatan hukum, dan dengan sendirinya telah berubah menggunakan ketentuan yang berlaku pada UU 11/2020.
Dengan demikian setiap klausul dalam PKB yang berlandaskan UU 13/2003 dengan sendirinya berubah menggunakan ketentuan UU 11/2020 sepanjang mengatur hal yang sama.
Pro Kontra
Terhadap berlakunya UU 11/2020 khususnya tentang Ketenagakerjaan hingga saat ini masih menjadi pertentangan di kalanagan pekerja.
Hal ini karena telah terjadi penurunan manfaat dari yang selama ini diatur UU 13/2003.
Penurunan manfaat ini dipandang oleh pekerja benar-benar sangat merugikan, apalagi dengan dimunculkannya ketentuan baru di mana pengusaha dapat melakukan PHK dengan alasan efisiensi untuk mencegah terjadinya kerugian. Sebaliknya pengusaha sepintas terlihat diberikan kemudahan.
Hal seperti inilah yang pada akhirnya terjadi perdebatan sangat sengit antara pengusaha dan SP dalam melakukan perubahan atau pembentukan PKB.
Biasanya terhadap perundingan yang sangat ketat dan sulit mencapai kesepakatan, tidak sedikit yang berakhir dengan unjuk rasa atau mogok kerja.
Mogok kerja memang diatur dalam peraturan ketenagakerjaan jika memang telah terjadi keadaan buntu atau deadlock dalam perundingan.
Untuk itu agar dapat membedakan mogok kerja itu legal atau ilegal, maka perlu dipahami makna dari mogok kerja tersebut baik secara yuridis maupun filosofis.
Baca juga: Pertama di Indonesia! Warga Palembang Ini Berhasil Ciptakan Robot Pendeteksi Dasar Air
Secara yuridis mogok kerja adalah tindakan pekerja yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh SP untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan.
Mogok kerja harus dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.
Dengan pengertian bahwa mogok kerja itu terjadi akibat gagalnya perundingan, maka secara filosofis perundingan itu gagal jika benar-benar tidak ada jalan keluar yang dapat diberikan atas suatu kesepakatan.
Perlu dipahami bahwa kesepakatan merupakan suatu perikatan, yang bisa lahir karena kesepakatan atau karena UU. Jika perundingan gagal karena tidak ada kesamaan kehendak dalam suatu pembentukan PKB, jalan keluarnya adalah merujuk UU.
Jika ternyata UU telah mengaturnya, sudah sangat jelas perundingan tidak bisa dinyatakan gagal, karena UU yang telah mengaturnya sudah menjadi solusi bagi kedua belah pihak.
Maka para pihak harus tunduk kepada UU dan tidak diperdebatkan lagi. Dengan demikian jika mogok kerja terjadi maka termasuk mogok kerja yang tidak sah.