Proyek gagal itu menyadarkan AS ketika perang Rusia-Ukraina dimulai. Sementara Maduro memegang kendali Venezuela saat pasar minyak global terguncang.
Pada akhirnya Gedung Putih menggadaikan prestise, gengsi, dan kebanggaan tersisa dan membiarkan Venezuela mendapatkan sebagian dari minyaknya.
Bulan lalu, Chevron mengumumkan rencana pengeboran sumur baru untuk Venezuela melalui usaha patungan dengan PDVSA.
Mereka ingin menggenjot produksi minyak sebesar 35 persen disbanding saat ini. Sebulan sebelumnya, Chevron menggencarkan pengeboran kembali di Sabuk Orinoco.
Enam bulan berlalu, batas keringanan sanksi untuk Venezuela berakhir. Tapi AS membiarkan Chevron tetap beroperasi di Venezuela, dan kelanjutan eksplorasi minyak akan tergantung kasus per kasus.
Hal ini terdengar seperti cara yang mudah bagi Washington untuk mempertahankan pasarnya sendiri, atau setidaknya memutuskan siapa yang mendapat akses.
Semua orang takut dengan sanksi alas Washington. Menggunakan sanksi sebagai instrumen untuk mengendalikan persaingan global bukanlah hal baru bagi AS.
Tapi hal ini semakin sulit dilakukan di tengah semakin banyaknya pilihan yang ada karena seluruh dunia melakukan diversifikasi dari tatanan global yang selama ini didominasi barat.
Dunia bergerak multipolar, seiring kehadiran blok baru BRICS. Politik hegemonik ala AS semakin tidak popular, seperti terjadi di benua Afrika.
Pada Februari 2020, Kantor Pengendalian Aset Luar Negeri (OFAC) Departemen Keuangan AS memberikan sanksi kepada perusahaan minyak milik negara Rusia, Rosneft.
Alasannya, perusahaan tersebut dianggap jadi perantara penjualan dan pengangkutan minyak mentah Venezuela.
Ini adalah cara kerja untuk menyingkirkan pesaing. Tuduhan tetap sama, diarahkan ke Nicolas Maduro pemimpin yang dipilih rakyat Venezuela lewat Pemilu.
“Amerika Serikat bertekad mencegah penjarahan aset minyak Venezuela oleh rezim Maduro yang korup,” kata Menteri Keuangan Steven Mnuchin saat AS memulai sanksinya ke Venezuela.
Padahal AS justru benar-benar sedang menjarah aset minyak Venezuela, dan menahan keuntungannya lewat penyitaan aset.
Jadi, apa yang dilakukan Maduro hingga memberi Washington alasan untuk kembali menerapkan sanksi?
Tampaknya hal ini ada hubungannya dengan diskualifikasi kandidat oposisi Maria Corina Machado dari pemilihan presiden yang ditetapkan pada Juli 2024.
Machado didiskualifikasi Mahkamah Agung selama 15 tahun, atas tuduhan keterlibatannya dalam “rencana korupsi yang dilancarkan Juan Guaido.
Ia juga dituduh terlibat upaya perampasan perusahaan-perusahaan dan kekayaan rakyat Venezuela di luar negeri.
Machado pernah menyatakan ucapan terima kasih ke Israel atas campur tangan dalam urusan Venezuela dengan mengakui Juan Guaido sebagai presiden sementara Venezuela.
Masih ada beberapa tuduhan lain, yang semuanya tersangkutpaut dengan aktivitas mendeligitimasi pemerintahan Maduro dan peran pemerintah asing.
Seperti kebiasaannya, Washington selalu merasa berkepentingan atas kekuasaan di negara lain. Karena itu ia seperti berhak ikut mengatur Pemilu.
Di Venezuela, jelas AS amat sangat berkeinginan menguasai minyak Venezuela, mengingat krisis di Timur Tengah dan Ukraina.
Meski begitu, Nicolas Maduro tetap memainkan politik keseimbangan saat ia mengungkapkan rencana untuk merebut sebuah wilayah di Guyana Essequibo.
Ini wilayah yang sejak lama jadi objek sengketa Venezuela dan Guyana bekas jajahan Inggris.
Spot ini dikenal sangat kaya minyak. Maduro menuduh AS telah mendirikan pangkalan militer rahasia dan pos CIA di wilayah Guyana Essequibo ini.
Daerah kaya minyak dan mineral ini memiliki luas 62.000 mil persegi di sekitar Sungai Essequibo.
Menurut Maduro, Langkah AS ini memperlihatkan bentuk “agresi” terhadap rakyat Venezuela bagian selatan dan timur.
Pangkalan itu juga dibangun untuk mempersiapkan eskalasi konflik terhadap Venezuela.
Komando Selatan AS telah memiliki Kantor Kerja Sama Keamanan di Guyana, dan berfungsi sebagai konsultan militer untuk Angkatan Pertahanan Guyana (eks Inggris).
Setelah referendum nasional pada awal Desember 2023, Caracas mengklaim Guayana Esequiba – wilayah yang sebagian besar berhutan telah dimilikinya selama lebih dari satu abad.
Guyana telah melakukan protes, dengan menyatakan wilayah tersebut mencakup dua pertiga wilayahnya yang diakui secara internasional, dan telah meminta bantuan komunitas internasional.
Perselisihan mengenai wilayah Essequibo meningkat pada 2015 setelah raksasa energi yang berbasis di AS, ExxonMobil, menemukan cadangan minyak di sana.
Setelah referendum Desember, pasukan AS mengadakan latihan militer gabungan AS-Guyana. Angkatan Laut Kerajaan Inggris mengerahkan kapal patroli HMS Trent ke Guyana pada Januari 2024.
Menurut Maduro, wilayah yang disengketakan dikendalikan Komando Selatan, CIA, dan ExxonMobil, yang berupaya merebut sumber daya Venezuela.
Inilah ‘hot spot’ konflik di Amerika Selatan, yang memiliki peluang besar meledak jadi pertikaian berskala regional.
Minyak jadi sumber perebutan kekuasaan, sama halnya yang terjadi di Irak, Suriah, Libya, Iran, negara-negara yang rezimnya dianggap tak bisa diatur Washington.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)