Orde Baru (Orba) yang berlangsung dari 1966 hingga 1998, di bawah kepemimpinan Soeharto, menjanjikan stabilitas dan pembangunan ekonomi.
Pada awalnya, Orba memberikan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Namun, kejatuhan Orde Baru disebabkan oleh maraknya KKN, kekuasaan absolut, serta pembungkaman kebebasan berpendapat.
Baca juga: Menggagas Kudatuli Sebagai Hari Besar Reformasi
Reformasi 1998 adalah puncak dari kebencian terhadap pemerintahan otoriter yang menjajah suara rakyat.
Orla menonjolkan idealisme kebangsaan, namun gagal mempertahankan stabilitas ekonomi dan politik.
Orba memberi stabilitas dan pembangunan, tapi mengorbankan kebebasan dan akuntabilitas pemerintahan.
Reformasi adalah jawaban perbaikan kedua orde sebelumnya dengan membawa kebebasan dan demokrasi, tetapi di ujungnya, sistem politik kembali dirusak oleh praktik-praktik KKN dan otoritarianisme yang terselubung.
Reformasi Rasa Orba
Seperti halnya di masa Orba, saat ini kekuasaan disusun dengan pola berbagi kekuasaan antar elite politik.
Prinsip "Asal Bapak Senang" mulai mengaburkan pandangan rakyat yang tidak paham dengan dinamika politik.
Mereka yang kritis dan vokal terhadap pemerintah, diredam suaranya, dipinggirkan, dan karakternya dibunuh perlahan. Padahal mereka adalah segelintir dari tokoh yang benar-benar peduli pada nasib bangsa tanpa agenda tersembunyi.
Sayangnya, ingatan tentang masa kelam Orba mulai pudar di benak generasi muda, khususnya Gen Z. Mereka lahir saat reformasi mulai menancapkan tonggak-tonggaknya, seperti pemilihan langsung dan pembatasan kekuasaan militer.
Mereka mungkin tidak melihat betapa miripnya situasi saat ini dengan masa akhir Orba, di mana kekuasaan terkonsentrasi pada segelintir elite, dan rakyat hanya dijadikan alat politik untuk melanggengkan kekuasaan.
Akhir Reformasi?
Jika memang tujuan segelintir elite adalah menciptakan dinasti politik, maka kita sedang bersiap-siap memasuki era baru yang lebih panjang dan lebih menekan dibandingkan Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi.