‘Pencabutan’ Tap MPRS 33/1967 menjadi tonggak penting pemulihan nama baik Sukarno, tetapi apa yang masih perlu diluruskan?
Penyerahan surat pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tentang tidak berlakunya Ketetapan XXXIII/MPRS/1967 kepada keluarga…
Bonnie pun berharap pemulihan nama baik Sukarno ini dapat mendorong generasi muda seperti milenial dan Gen Z untuk berani mendorong dan membuka sejarah masa lalu yang digambarkannya sebagai “banjir darah”.
“Saya pikir momentumnya sekarang tepat–di saat kita semua sudah bisa mulai merefleksikan masalah. Bukan hanya masyarakat, tetapi juga elit,” ujarnya.
Bagaimana Tap MPRS 33/1967 mengaitkan Sukarno dengan G30S?
Keterkaitan antara Presiden Sukarno dan G30S/PKI menjadi perdebatan panjang dalam sejarah politik Indonesia.
Tuduhan terhadap Presiden Sukarno muncul dalam konteks politik pasca-1965. Saat itu, terjadi pergeseran kekuasaan dan upaya untuk mendelegitimasi kepemimpinan Presiden Sukarno.
Seperti diketahui, Partai Komunis Indonesia (PKI) saat itu menjadi pihak yang dituding bertanggung jawab atas tragedi September 1965 yang melenyapkan nyawa sejumlah petinggi TNI Angkatan Darat (AD) yakni Komandan TNI AD, Jenderal Ahmad Yani, Letnan Jenderal Suprapto, Letnan Jenderal MT Haryono, Letnan Jenderal S Parman, Mayor Jenderal DI Pandjaitan, Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, dan Kapten Pierre Tendean.
Pierre Tendean merupakan ajudan Panglima TNI Jenderal AH Nasution juga menjadi target pembunuhan. Nasution berhasil lolos dari tragedi itu.
Tap MPRS 33/1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Sukarno, menyebut Sukarno menguntungkan kelompok yang melakukan G30S.
Pada 1966, Presiden Sukarno diminta untuk memberikan pertanggungjawaban untuk tragedi tersebut—terutama untuk mencari dalang alias siapa yang bertanggung jawab di balik semuanya.
Pada 22 Juni 1966, Sukarno memberikan pidato pertanggungjawaban yang disebut Nawaksara. MPRS pada saat itu menolak Nawaksara karena dianggap tidak memenuhi keinginan rakyat. MPRS juga menolak laporan tertulis Presiden Sukarno yang disebut Pelengkap Nawaksara (Pel-Nawaksara) pada 10 Januari 1967.
Sidang Istimewa MPRS yang digelar 7-12 Maret 1967 pun mencabut kekuasaan Presiden Soekarno melalui Tap MPRS 33/1976.
“MPRS waktu itu menganggap [Nawaksara dan Pel-Nawaksara] ini tidak cukup untuk menjelaskan ataupun menunjukkan pertanggungjawaban Soekarno atas peristiwa G30S,” ujar pengamat sejarah Bonnie Triyana pada Selasa (10/09).
Padahal, imbuh Bonnie, Sukarno berpendapat bahwa peristiwa G30S merupakan persoalan yang bisa diselesaikan melalui jalur hukum: mereka yang terlibat dalam pembunuhan para jenderal harus diadili. Sukarno pun membentuk Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub).
“Istilahnya Sukarno: kalau mau memburu tikus, jangan lumbung padinya yang dibakar,” ujar Bonnie.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.