Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun
BBC

‘Pencabutan’ Tap MPRS 33/1967 menjadi tonggak penting pemulihan nama baik Sukarno, tetapi apa yang masih perlu diluruskan?

Penyerahan surat pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tentang tidak berlakunya Ketetapan XXXIII/MPRS/1967 kepada keluarga…

zoom-in ‘Pencabutan’ Tap MPRS 33/1967 menjadi tonggak penting pemulihan nama baik Sukarno, tetapi apa yang masih perlu diluruskan?
BBC Indonesia
‘Pencabutan’ Tap MPRS 33/1967 menjadi tonggak penting pemulihan nama baik Sukarno, tetapi apa yang masih perlu diluruskan? 

“Itu yang bagi saya juga tanda tanya. Apakah ini ada keinginan untuk mengadakan pendekatan dari pemerintah—dalam hal ini misalnya Presiden terpilih Prabowo dengan Megawati, misalnya,” tutur Asvi.

Dalam pernyataannya, Ketua MPR Bambang Soesatyo menyebut surat pimpinan MPR yang ditandatangani 10 unsur pimpinan MPR itu merupakan tanggapan dari surat Menteri Hukum dan HAM tentang tindak lanjut tidak berlakunya Tap MPRS 33/1967 yang diterbitkan pada tanggal 13 Agustus 2024.

Meskipun begitu, Asvi mengatakan mungkin saja surat itu “sudah lama” dibuat.

“Tetapi sekarang ini, pada akhir masa jabatan, mereka masih melihat ada yang belum diselesaikan [...] oleh pimpinan MPR,” ujar Asvi.

“Mungkin itu yang terjadi sekarang. Jadi orang bisa saja menafsirkan ada keinginan untuk melakukan pendekatan terhadap Sukarno atau keluarga Bung Karno atau terhadap PDIP dari pemerintah misalnya.”

Adapun Bonnie berpendapat banyak orang tidak mengetahui tentang tidak berlakunya lagi Tap MPRS 33/1967 pada tahun 2003. Dia pun tidak melihat adanya upaya dari pemerintahan yang akan datang untuk “cuci tangan”

“Saya melihat ini persoalan sejarah. Saya pikir momentumnya sekarang tepat–di saat kita semua sudah bisa mulai merefleksikan masalah. Bukan hanya masyarakat, tetapi juga elite,” ujarnya.

Berita Rekomendasi

Terpisah, dosen politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Abdul Gaffar Karim, mengatakan negara benar-benar harus menuntaskan pemulihan nama baik Sukarno. Sebab, menurut dia, pemulihan nama baik Sukarno di kalangan akademisi sudah terjadi sejak lama.

Justru, imbuhnya, negara yang lamban dalam melakukan rehabilitasi nama Sukarno.

“Negara masih punya banyak regulasi yang menyalahkan Bung Karno atas apa yang terjadi tahun 1965 termasuk Tap MPRS ini. Negara juga masih merayakan banyak hal yang menyudutkan Bung Karno misalnya Hari Kesaktian Pancasila,” ujarnya.

“Saya kira pencabutan ini adalah salah satu tahap dari langkah negara. Agendanya masih banyak [untuk pemulihan nama baik],” ujarnya.

Apakah ada motif politik dari ‘pencabutan’ Tap MPRS 33/1967 ini?

Sri Lestari Wahyuningroem, peneliti Carr Center for Human Rights Policy di Harvard University, memperkirakan ‘pencabutan’ yang dilakukan MPR ini adalah bagian dari pertukaran politik khususnya terkait dengan kepentingan PDIP atau Megawati Soekarnoputri.

“Dalam kacamata politik khas Indonesia, tentu sesuatu dipertukarkan dengan hal lainnya utk keuntungan masing-masing,” ujar Sri Lestari pada Rabu (11/09).

Dosen Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta itu kemudian mengingatkan bahwa Tap MPR Nomor 1 tahun 2003 sebetulnya sudah mengesankan pencabutan Tap MPRS 33/1967 khususnya pada pasal 6 yang menyebut bahwa dekrit lawas itu “tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan.”

Sri Lestari juga mengingatkan bahwa Tap MPR 1/2003 ditandangani almarhum Taufik Kiemas—almarhum suami Megawati. Megawati juga masih menjadi presiden Indonesia pada 2003.

“Jadi kalau sekarang ditegaskan lagi dengan pembatalan, sebetulnya tidak berarti banyak selain bagian seremonialnya itu. Dan tentu ini lebih menguntungkan bagi Megawati dan PDIP daripada Jokowi,” ujar Sri Lesari.

“Ini membangun kembali legitimasi politik PDIP yg sekarang terjun bebas apalagi ditinggal oleh banyak elite dan parpol lainnya.”

Sementara dosen politik UGM, Abdul Gaffar KarimTerpisah, mengatakan dirinya tidak melihat ada keterkaitan besar atas ‘pencabutan’ Tap MPRS 33/1967 ini dengan politik elektoral kekinian.

“Perjuangan mencabut Tap MPRS 33/1967 ini sudah cukup lama. [Sudah] sejak reformasi. Mungkin negosiasi politiknya baru tuntas belakangan ini saja,” ujarnya.

Bonnie Triyana—yang juga merupakan Kepala Badan Sejarah Indonesia untuk PDIP—mengatakan “urusan hukum dan politik dalam beberapa titik tertentu sering kali bersinggungan dan sering kali kontradiktif”.

“Sering kali juga ada momentum yang tepat untuk menyampaikan sesuatu,” ujarnya.

‘Kami sekeluarga memaafkan semua yang terjadi di masa lalu’: Guntur Sukarnoputra

Putra sulung Sukarno, Guntur Sukarnoputra, dalam menyatakan ahli waris Sukarno sudah “menunggu selama lebih dari 57 tahun” untuk keadilan terhadap ayahnya.

Hal tersebut disampaikan Guntur setelah keluarga besar Sukarno menerima surat pimpinan MPR itu di Senayan pada Senin (09/09). Selain Guntur, hadir pula putri Sukarno, Presiden Ke-5 Megawati Sukarnoputri bersama anak laki-lakinya, Prananda Prabowo, juga anak-anak Sukarno lainnya yakni Guntur Sukarnoputra dan Sukmawati Sukarnoputri.

Turut hadir pula keluarga dari almarhumah Rachmawati Sukarnoputri, anak perempuan Sukarno yang meninggal dunia pada Juli 2021.

Guntur menekankan pihak keluarga sebetulnya sama sekali tidak mempermasalahkan lengsernya Sukarno (“Memang kekuasaan presiden Indonesia harus ada batasnya, tidak peduli siapa pun dia,” ujar Guntur) — tetapi tuduhan pengkhianatan adalah sesuatu yang “tidak dapat bisa diterima”.

“Tuduhan keji yang tidak pernah dibuktikan melalui proses peradilan [...] itu telah memberikan luka yang sangat mendalam [baik] bagi keluarga besar kami maupun rakyat Indonesia yang patriotik dan nasionalis,” ujar Guntur seperti dilansir Kompas.com pada Senin (09/09).

Guntur pun menyebut gestur dari MPR berarti tuduhan terhadap Sukarno “terbantahkan, sekali lagi”.

Dia menambahkan keluarga saat ini mengharapkan adanya rehabilitasi nama baik terhadap Sukarno atas tuduhan pengkhianatan yang menimpa proklamator Indonesia itu.

“Yang diinginkan saat ini adalah rehabilitasi, rehabilitasi nama baik Bung Karno atas tuduhan sebagai seorang pengkhianat bangsa. Keinginan tersebut bukan hanya bagi nama baik Bung Karno di mata anak-anak, cucu-cucu, dan cicit-cicitnya tetapi lebih penting dari itu semua adalah bagi kepentingan pembangunan mental dan karakter bangsa khususnya bagi generasi penerus bangsa ini,” ujar Guntur.

Guntur pun mengatakan pihak keluarga Sukarno telah bersepakat untuk “memaafkan semua yang terjadi di masa lalu” dan berharap apa yang terjadi kepada Sukarno tidak akan terulang kepada siapa pun.

Apa tanggapan penyintas 1965?

BBC News Indonesia berupaya menghubungi sejumlah penyintas kasus kekerasan pasca 1965 untuk meminta tanggapan mereka atas gestur yang dilakukan MPR.

Uchikowati Fauzia, generasi kedua Peristiwa 65 mengatakan dirinya mengapresiasi keputusan yang menurutnya adalah “pemulihan nama baik” Sukarno.

“Saya mengucapkan selamat kepada keluarga Bung Karno atas perjuangan untuk pemulihan nama baik Bung Karno selama 56 tahun. Ini adalah kemenangan rakyat [juga],” ujarnya pada Selasa (10/09).

Di sisi lain, Uchikowati yang sedang menghadiri pemutaran film Eksil (sebuah dokumenter tentang tahan politik 1965) mengaku dirinya sedikit “was-was” karena sering mendapat harapan palsu dari negara.

“Jangan-jangan setelah ini negara memberikan gelar pahlawan nasional pada Suharto?” ujarnya.

Meski begitu, Uchikowati mengatakan sebagai penyintas 65 dirinya masih berharap apa yang mereka tuntut selama ini juga dikabulkan negara, yaitu mencabut Tap MPRS 25/1966 “agar stigma PKI bisa berakhir”.

Terpisah, Bedjo Untung, penyintas kasus kekerasan pasca 1965, mengatakan dirinya “tidak terlalu terkejut” atas ‘pencabutan’ Tap MPRS 22/1967.

“Karena sebetulnya ini bagi saya sungguh aneh dan tidak menjawab persoalan,” ujarnya pada Selasa (10/09).

Bedjo mengatakan pencabutan Tap MPRS 3/1967 berarti Sukarno bisa kembali berkegiatan politik—sesuatu yang tidak ada artinya mengingat presiden pertama Indonesia itu sudah meninggal dunia (“Beliau diperlakukan tidak manusiawi sampai wafat,” imbuh Bedjo).

Bedjo menekankan klausul dalam Tap MPRS 33/1967 yang menyebut “pemberontakan” dan “pengkhianatan” adalah memutarbalikkan fakta.

“PKI justru ingin membangun Indonesia yang sosialis. Klausul yang mengatakan [pengkhianatan] itu menyesatkan. Yang berkhianat justru Suharto,” ujar Bedo.

Bedjo pun menyebut ‘pencabutan’ yang dilakukan MPR pada Senin (09/09) hanya bersifat administratif mengingat Tap MPRS 33/1967 sudah tidak berlaku sejak 2003 melalui Tap MPR.

Sama seperti Uchikowati, Bedjo juga mendesak MPR untuk juga mencabut Tap MPRS 25/1966 tentang pelarangan PKI yang menurutnya.

Bedjo menyebut para korban peristiwa 1965 mendesak supaya kasus 1965 dibuka selebar-lebarnya melalui penegakan hukum dengan membangun pengadilan ad hoc apabila Ketua MPR Bambang Soesatyo “benar-benar serius ingin mengembalikan marwah Soekarno”.

“Yang melakukan pembangkangan adalah Soeharto dengan memanipulasi Supersemar [Surat Perintah Sebelas Maret]. Ini yang harus diluruskan,”

Di sisi lain, Sri Lestari Wahyuningroem, peneliti Carr Center for Human Rights Policy, Harvard University, mengaku pesimistis apabila ‘pencabutan’ Tap MPRS 33/1967 ini merupakan bagian dari penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, apalagi soal genosida 1965 dan 1966.

Dia menekankan selama Tap MPRS 25/1967 tidak dicabut, stigma komunis dan kontrol atas ketakutan terhadap hantu yang diciptakan Orde Baru untuk rezim manapun—terlepas siapa yang berkuasa—akan selalu ada.

“Hantu ini masih dibutuhkan karena sangat efektif menaklukkan lawan politik,” tegas Sri Lestari.

Sri Lestari juga menekankan bahwa Megawati, mantan presiden Indonesia dan ketua PDIP, tidak pernah bersuara tentang 1965 meskipun ayahnya adalah korban.

“Kita tidak pernah tahu posisi [Megawati] seperti apa. Keliru kalau menganggap pencabutan Tap MPRS 33 ini ada dampaknya terhadap penyelesaian ‘65,” ujar Sri Lestari.

“Untuk mereka yang melihat dari perspektif elite, mungkin iya. Tapi genosida 65 bukan hanya mengorbankan elite, tapi yang lebih utama lagi adalah 500.000 sampai jutaan warga negara Indonesia, rakyat sipil biasa. Dan tidak ada pemimpin yang melihat dalam kacamata tersebut atau memikirkan dampaknya terhadap Indonesia hari ini dan masa depan jika tidak diselesaikan dengan bermartabat bagi korban dan keluarganya.”

Apa itu Supersemar dan bagaimana perkembangannya?

Terpisah, Bedjo Untung, penyintas kasus kekerasan pasca 1965, mengatakan dirinya “tidak terlalu terkejut” atas ‘pencabutan’ Tap MPRS 22/1967.

“Karena sebetulnya ini bagi saya sungguh aneh dan tidak menjawab persoalan,” ujarnya pada Selasa (10/09).

Bedjo mengatakan pencabutan Tap MPRS 3/1967 berarti Sukarno bisa kembali berkegiatan politik—sesuatu yang tidak ada artinya mengingat presiden pertama Indonesia itu sudah meninggal dunia (“Beliau diperlakukan tidak manusiawi sampai wafat,” imbuh Bedjo).

Bedjo menekankan klausul dalam Tap MPRS 33/1967 yang menyebut “pemberontakan” dan “pengkhianatan” adalah memutarbalikkan fakta.

“PKI justru ingin membangun Indonesia yang sosialis. Klausul yang mengatakan [pengkhianatan] itu menyesatkan. Yang berkhianat justru Suharto,” ujar Bedo.

Bedjo pun menyebut ‘pencabutan’ yang dilakukan MPR pada Senin (09/09) hanya bersifat administratif mengingat Tap MPRS 33/1967 sudah tidak berlaku sejak 2003 melalui Tap MPR.

Sama seperti Uchikowati, Bedjo juga mendesak MPR untuk juga mencabut Tap MPRS 25/1966 tentang pelarangan PKI.

Bedjo menyebut para korban peristiwa 1965 mendesak supaya kasus 1965 dibuka selebar-lebarnya melalui penegakan hukum dengan membangun pengadilan ad hoc apabila Ketua MPR Bambang Soesatyo “benar-benar serius ingin mengembalikan marwah Soekarno”.

“Yang melakukan pembangkangan adalah Soeharto dengan memanipulasi Supersemar [Surat Perintah Sebelas Maret]. Ini yang harus diluruskan,”

Surat Perintah Sebelas Maret 1966 alias Supersemar merupakan surat perintah yang diberikan oleh Sukarno kepada Suharto untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi darurat yang terjadi di Indonesia khususnya pasca G30S.

Supersemar menjadi kontroversi karena ada beberapa penafsiran dan tujuan: Apakah semata-mata untuk mengatasi situasi darurat, atau justru untuk memindahkan kekuasaan secara bertahap dari Sukarno ke Suharto?

Yang jelas, Supersemar menjadi landasan hukum bagi Suharto untuk mengambil alih kekuasaan dan membentuk pemerintahan baru—yang kemudian dikenal sebagai Orde Baru.

Naskah asli Supersemar hingga kini belum ditemukan.

“Supersemar itu adalah sebuah dokumen yang otentiknya belum ditemukan. Tentunya diupayakan terus supaya ketemu,” ujar sejarawan Asvi.

“Bahkan Arsip Nasional itu sudah menetapkan Supersemar itu sebagai Daftar Pencarian Arsip. Ada imbalan yang cukup besar bagi yang menemukan.”

Di sisi lain, Asvi mengatakan versi surat yang tersedia pun merupakan perintah dari Sukarno untuk melakukan pengamanan.

“Tetapi yang dilakukan Suharto lebih dari itu,” ujar Asvi.

Sejarawan Bonnie mengatakan Supersemar menjadi dasar dari Tap MPRS untuk “memberikan jalan kekuasaan kepada Suharto” padahal isinya bukanlah pemindahan kekuasaan—melainkan untuk menjaga ketertiban, menjaga keselamatan Sukarno, dan memastikan ajaran-ajaran Sukarno tetap diajarkan.

“Suharto adalah seorang pemimpin yang lahir karena krisis politik. Mandatnya bukan datang karena demokratis,” ujar Bonnie.

Dosen politik UGM, Abdul Gaffar Karim, menambahkan Sukarno sebenarnya banyak melakukan langkah untuk mencegah konflik lebih lanjut setelah terbunuhnya para jenderal, tetapi sering dimanipulasi seolah-olah dirinya melarang pembasmian PKI sebagai partai politik.

“Mereka dikenal sebagai jenderal yang setia kepada Bung Karno [terutama] Ahmad Yani,” ujar Abdul.

“Ini yang saya kira memang sudah waktunya itu dikoreksi oleh negara.”

BBC News Indonesia telah menghubungi Mugiyanto Sipin, korban selamat penculikan 1998 yang kini menjadi tenaga ahli utama di Kantor Staf Presiden (KSP), untuk mewakili pemerintah dalam artikel ini.

Namun, hingga artikel ini diturunkan, yang bersangkutan belum memberikan respons.

Sumber: BBC Indonesia
BBC
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas