Diumumkan Besok, Bisakah MKMK Anulir Putusan MK Terkait Gibran Cawapres? Ini Pandangan 4 Pakar Hukum
MKMK akan menyampaikan putusan terkait dugaan pelanggaran etik hakim MK terkai putusan soal usia cawapres Gibran.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Selasa (7/11/2023) besok, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) akan menyampaikan putusan terkait dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh sejumlah hakim termasuk Ketua MK Anwar Usman.
Pelanggaran etik itu berkaitan dengan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat batas minimum usia calon presiden dan wakil presiden.
Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 ini memuluskan langkah Gibran Rakabuming Raka jadi bakal calon wakil presiden atau cawapres pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024.
Sejak beberapa hari lalu muncul sejumlah sinyalemen putusan MKMK bisa menggugurkan putusan MK sehingga pencalonan Gibran di Pilpres 2024 bisa batal.
Pendapat itu antara lain dikemukakan oleh Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana.
Baca berita terkait : MKMK Bisa Batalkan Putusan MK Soal Syarat Capres-Cawapres, Pencawapresan Gibran Terancam?
Benarkah demikian? Bisakah putusan Majelis Hakim MK dibatalkan oleh MKMK? Berikut pendapat para ahli hukum seperti dirangkum Tribunnews.com pada Senin (6/11/2023) sehari jelang putusan MKMK.
1. Pakar Hukum dan Eks Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna
Eks hakim konstitusi yang juga eks Ketua MKMK, I Dewa Gede Palguna, menegaskan putusan MKMK tidak bisa mengoreksi putusan MK.
Termasuk putusan yang menuai pro dan kontra nomor 90/PUU-XXI/2023, yang mengubah Pasal 169 huruf q UU Pemilu soal batas usia capres-cawapres.
"Pendapat saya, sebagaimana telah saya sampaikan ke berbagai media, MKMK memang tidak boleh memasuki putusan MK," kata Palguna kepada wartawan pada Sabtu (4/11/2023).
"Wewenang MKMK adalah berkenaan dengan (dugaan) pelanggaran etik dan pedoman perilaku hakim (sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama). Artinya, kewenangan MKMK terbatas pada penjatuhan sanksi etik terhadap hakim konstitusi jika terbukti melanggar," jelasnya.
Palguna tidak menutup kemungkinan Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie bisa saja membuat "gebrakan" berkenaan dengan sanksi yang dijatuhkan untuk hakim konstitusi yang terbukti melanggar etik.
Ia menyinggung rekam jejak Jimly yang dikenal progresif dan senang membuat terobosan.
"Namun tetap berada di wilayah etik, tidak memasuki putusan MK," ujar Palguna yang juga menjadi Ketua MKMK ad hoc pada awal tahun ini.
"Artinya, betapa pun jengkelnya kita terhadap putusan MK, putusan tersebut tetap mengikat sebagai hukum sesuai dengan bunyi Pasal 47 UU MK, 'Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum'," kata dia.
Ia berpandangan, putusan MKMK hanya bisa berdampak terhadap putusan MK jika putusan etik tersebut dijadikan sebagai bukti kuat untuk mengajukan alasan pengujian kembali terhadap Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang telah diubah Putusan 90.
"Pasal 60 UU MK pada pokoknya menyatakan bahwa UU yang telah pernah dimohonkan pengujian tidak dapat diuji kembali kecuali alasan konstitusional yang digunakan sebagai dasar pengujian berbeda," jelas Palguna.
2. Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari
Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari mengatakan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) hanya bisa diubah melalui putusan MK pula.
Termasuk tidak bisa lewat putusan MKMK.
Artinya harus ada yang mengajukan uji materi ketentuan syarat usia capres-cawapres ke MK jika hendak membatalkan putusan yang kini berlaku.
“Putusan MK sifatnya final and binding (final dan mengikat). Yang bisa mengubah itu ya Putusan MK sendiri,” kata Feri kepada Kompas.com, Kamis (2/11/2023) dikutip dari Kompas.com.
Menurut Feri, hak angket yang kini diwacanakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tak bisa mengubah putusan MK ini.
Bahkan, katanya, Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tak bisa menjadi objek hak angket DPR. Sebab hak angket tidak bisa digunakan untuk mengusut lembaga peradilan.
Feri bilang lembaga peradilan mana pun bersifat merdeka dan tidak bisa diintervensi lembaga lain. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945.
Oleh karenanya yang bisa diselidiki DPR lewat hak angketnya terhadap Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 ialah dugaan nepotisme yang belakangan jadi perhatian.
DPR bisa saja menyelidiki dugaan kepentingan pihak-pihak tertentu seperti presiden dalam polemik putusan MK ini.
“Kalau pendapat DPR menyatakan ada pelanggaran hukum yang melibatkan presiden maka presiden yang akan terdampak,” ujar Feri.
Meski tak bisa mengubah putusan MK secara langsung, hasil penyelidikan DPR lewat hak angket dapat dijadikan landasan untuk mengajukan uji materi ketentuan usia capres-cawapres ke MK.
Selain itu, pemeriksaan Majelis Kehormatan MK (MKMK) juga bisa menjadi dasar uji materi, seandainya MKMK memutuskan ada dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
“Itu akan menjadi alasan baru untuk mengajukan permohonan. Atau publik bisa juga mengajukan permohonan pengujian kembali dengan alasan berbeda, lalu putusan MKMK dan hak angket DPR bisa jadi alat bukti di dalam persidangan,” jelas peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas tersebut.
3. Guru Besar Unsoed Muhammad Fauzan
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Muhammad Fauzan menilai putusan Mahkamah Kontitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 bisa dibatalkan.
"Jika putusan MKMK ternyata para hakim terbukti dengan sah dan meyakinkan telah melakukan pelanggaran kode etik, maka dalam perspektif moral, putusan yang telah diambil tidak memiliki legitimasi secara moral karena diputus oleh hakim yang telah terbukti melanggar kode etik," ucap Fauzan kepada wartawan, Jumat (3/11/2023).
Bila merujuk pada hukum tata negara positif atau sesuai dengan ketentuan Pasal 24 C Undang- Undang Dasar 1945, menurut Fauzan, keputusan MK lazimnya mesti diterima publik dan langsung berlaku tanpa upaya hukum.
Namu, proses hukum di MKMK membuka jalan untuk pembatalan putusan nomor 90. Jika mengutapakan aspek moralitas, Fauzan berkata bisa saja MKMK mengesampingkan hukum tata negara yang selama ini berlaku di Indonesia.
Fauzan mengatakan MKMK bisa juga tidak membatalkan putusan nomor 90 meskipun hakim MK terbukti melanggar etika.
Namun dia berharap MKMK membuat terobosan dengan menetapkan putusan hakim yang terbukti melanggar kode etik bisa dibatalkan.
"Pembatalannya ada dua cara. Pertama, pembatalan oleh MK sendiri atas perintah MKMK. Kedua oleh MKMK yang memeriksa dan memutus laporan adanya pelanggaran kode etik," kata Fauzan.
4. Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan apapun putusan MKMK tidak akan berpengaruh langsung kepada pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo Subianto di Pilpres 2024.
Pernyataan itu disampaikan oleh Bivitri Susanti dalam dialog Sapa Indonesia Pagi KompasTV, Kamis (2/11/2023).
“Secara prinsip sebenarnya putusan MKMK itu nantinya, apapun keputusannya, tidak akan berpengaruh langsung pada pencalonan Gibran,” ucap Bivitri.
“Jadi tidak akan bisa menyebut dalam amar putusannya, bahwa misalnya KPU tidak boleh begini atau begitu, karena MKMK wewenangnya terbatas pada etik dari orang-orang yang diduga melakukan pelanggaran etik.”
Namun demikian, sambung Bivitri, yang masih didiskusikan dari putusan MKMK adalah dampaknya pada putusan Mahkamah Konstitusi No 90 Tahun 2023 tentang Pemilu.
“Misalnya, ketika MKMK memerintahkan kepada majelis yang tersisa dengan asumsi kalau nanti Anwar Usman dipecat dengan tidak hormat, untuk mengulang,” jelas Bivitri.
“Karena sudah ada perkara yang masuk, tiga perkara yang masuk, untuk mengulang pembahasan pasal 169 huruf Q ini yang soal umur tadi ya yang ditambahkan atau itu bisa diuji lagi dan sudah ada yang mengajukan, itu bisa saja dipercepat, jadi faktor ketidakpastian memang tetap ada.”
Maka itu dalam hal ini, MKMK mengubah waktu pengambilan kebijakan dengan mempercepat putusan di tanggal 7 November 2024.
“Karena itu juga mereka (MKMK -red) sudah membuat kebijakan untuk mempercepat pengambilan keputusan 7 November karena ada batas memperhatikan jadwal Pemilu tersebut,” kata Bivitri.
“Walaupun menurut peraturan itu maksimal bekerja 30 hari, tapi mereka mempercepatnya melihat situasi politik seperti ini.”
MKMK Buka Peluang Koreksi Putusan MK
Sebelumnya, Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie membuka kemungkinan putusan etik yang ia teken nanti akan dapat mengoreksi putusan MK, entah dengan cara apa.
Itu sebabnya, ia mengabulkan permintaan salah satu pemohon, Denny Indrayana, agar putusan etik itu dibacakan pada 7 November 2023, sehari sebelum tenggat pengusulan bakal capres-cawapres pengganti di KPU RI.
Denny melandaskan argumennya pada Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur tidak sahnya sebuah putusan yang dihasilkan dari majelis hakim yang tidak mundur dari potensi konflik kepentingan pada perkara tersebut.
UU yang sama mengamanatkan agar, jika situasi itu terjadi, maka perkara tersebut harus disidang ulang dengan komposisi majelis hakim yang berbeda.
Namun, Jimly menyinggung, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 secara tegas mengatur bahwa putusan MK final dan mengikat.
"Prinsipnya ini adalah lembaga penegak etik. Kita tidak menilai putusan MK. Tapi kalau Anda ini bisa meyakinkan kami bertiga, dengan pendapat yang rasional, logis, dan masuk akal, bisa diterima akal sehat, why not?" ungkap Jimly, Rabu lalu.