Mantan Ketua KPU Arief Budiman: Kecurangan Suara di Pemilu Mudah Dibaca
Indikasi kecurangan itu bisa dilihat apabila sistem pemilu pasca pencoblosan dijalankan dengan baik
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Hasanudin Aco
“Itu problemnya Anda mau bersuara atau nggak. Jangan-jangan Anda bagian dari
persekongkolan” tukasnya.
Berikut Wawancara Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra
dengan Arief Budiman:
Mengenai utak-atik suara konon untuk kepentingan partai suara dan kepentingan
caleg tertentu, sebenarnya mengapa dan analisa Anda apa yang membedakan
dengan Pemilu 2024 dari sebelumnya?
Saya merasa bahwa polemiknya terlalu banyak karena ada banyak catatan, banyak
komplain, banyak permintaan publik yang KPU tidak dapat menjelaskan secara baik.
Apalagi peristiwa terakhir polemik Sirekap yang mana ujungnya kemudian justru
hasil rekapitulasi tidak ditampilkan, yang ditampilkan adalah hasil penghitungan
suara di masing-masing TPS. Itu sebetulnya makin membuat banyak pertanyaan.
Saya sendiri sebenarnya melihat mengapa ini mundur lagi.
Mundur sampai 10 tahun atau sampai 15 tahun?
Apa yang kita tampilkan sekarang itu sudah kita tampilkan sekurang-kurangnya 10
tahun yang lalu ketika Pemilu 2014. Kita sebetulnya progresnya sudah naik terus.
Pemilu 2014, Pemilu 2019, dan Pilkada 2020. Pemilu 2024 sebenarnya diharapkan
menyempurnakan apa yang sudah kita kerjakan tapi saya merasa kalau terjadi
seperti ini transparansinya malah berkurang.
Padahal salah satu kebijakan yang bisa menjaga tingkat kepercayaan publik
terhadap pemilu adalah transparansi. Ya tentu yang lainnya kualitas
penyelenggaraan, integritas penyelenggaraan.
Saya melihat di tahap-tahap pun transparansinya agak berkurang dibandingkan Pemilu sebelumnya. Nah ini KPU yang bertugas sekarang dia harus bisa menjelaskan secara detail mengapa kebijakan itu diambil.
Apa pentingnya Sirekap itu ditampilkan buat penyelenggara, publik maupun peserta
Pemilu 2024?
Pertama kerjanya Sirekap akan mampu menampilkan data bukan hanya hasil
penghitungan tapi juga rekapitulasi lebih cepat dibandingkan jadwal normal yang
durasinya 35 hari.
Karena itu menyediakan data lebih cepat bagi penyelenggara pemilu sendiri akan bisa mengontrol seluruh pasukannya mulai dari TPS sampai tingkat provinsi. Kalau ada hal yang lambat diinformasikan kita akan tahu dan bisa menduga ada sesuatu yang bermasalah.
Bagi peserta pemilu dia bisa mengontrol apakah suaranya dicurangi atau tidak, baik
antar partai politik, antar kandidat di internal partai poltiik. Bagi pemilih dia bisa tahu
kemarin kita berkumpul satu warga suaranya ke partai A tapi kok jadinya yang
menang B. Dia bisa juga mempertanyakan hal itu.
Lalu bagi pembuat kebijakan, dia tahu kalau di sebuah daerah selisihnya itu jauh
biasanya konflik akan rendah tapi kalau selisihnya tipis-tipis konflik akan mudah