Akui Putusan Batas Usia Capres-cawapres Probelamtik, Yusril: Harus Ada Keputusan
Yusril menyebut putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat usia capres-cawapres mengikat jika dilihat dari sudut pandang kepastian hukum
Penulis: Galuh Widya Wardani
Editor: Garudea Prabawati
"Bahkan mengandung penyelundupan hukum karena itu dia berdampak panjang putusan MK itu," kata Luthfi, dalam persidangan, Selasa.
Pendapat Yusril ini juga dibarengi dengan sikap Yusril yang mengingatkan Gibran Rakabuming Rak untuk tak maju sebegai calon wakil presiden (cawapres).
Menurut Yusril, Gibran sebaiknya tidak mencalonkan diri sebagai cawapres setelah putusan 90 diterbitkan MK.
"Sebab itu, Saudara Yusril mengatakan, andaikan saya Gibran, maka saya akan meminta kepada dia untuk tidak maju terus pen-cawapres-annya. Saya mohon tanggapan dari Saudara (Yusril)," ucap Luthfi.
Baca juga: MK Tolak Uji Formil Batas Usia Capres-cawapres dari Denny Indrayana, Pengacara: Bakal jadi Bom Waktu
Putusan Mengikat
Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan, Putusan 90 tersebut secara hukum telah berlaku sejak dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.
Sehingga seperti putusan MK lainnya, bersifat final dan mengikat.
Hal itu dinyatakan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam sidang pembacaan putusan Perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023, di ruang sidang gedung MK RI, pada Rabu (29/11/2023).
"Jika dikaitkan dengan ketentuan norma Pasal 10 dan Pasal 47 UU MK serta Pasal 77 Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021, maka Mahkamah berpendapat Putusan a quo adalah putusan yang dijatuhkan oleh badan peradilan pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final," kata Enny Nurbaningsih.
Dengan demikian, MK menolak uji ulang syarat batas minimal usia capres-cawapres yang diajukan mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Brahma Aryana.
Dikeyahui Brahma, selaku pemohon, memohonkan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang sebelumnya berubah oleh Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang kontroversial.
"Terhadap putusannya tidak dapat dilakukan upaya hukum. Hal tersebut dikarenakan, Mahkamah Konstitusi sebagai badan peradilan konstitusi di Indonesia tidak mengenal adanya sistem stelsel berjenjang yang mengandung esensi adanya peradilan secara bertingkat yang masing-masing mempunyai kewenangan untuk melakukan koreksi oleh badan peradilan di atasnya terhadap putusan badan peradilan pada tingkat yang lebih rendah sebagai bentuk 'upaya hukum'," jelas Enny.
(Tribunnews.com/Galuh Widya Wardani/Ibriza Fasti Ifhami)