Wawancara Khusus dengan Mayjen Purn TB Hasanuddin: Beli Pesawat Jangan Cuma karena Selera
TB Hasanuddin mengatakan, bahwa pihaknya bersama jajaran di Komisi I DPR tak mendapat laporan dan pembahasan dari Kemenhan RI soal pesawat bekas.
Editor: Malvyandie Haryadi
Misalnya membeli pesawat bekerjasama dengan PT Dirgantara Indonesia, beli tank bekerja sama dengan Pindad, membeli Kapal bekerja sama dengan PT PAL. Dan dari situ ada persyaratan persyaratan ada transfer of teknologi dan lain sebagainya. Sehingga ketika memproduksi setelah sekian tahun menjadi produksi murni putra-putri Indonesia clear.
Jadi siapa pun yang memimpin negeri ini program ini harus bisa dijalankan.
Tetapi negara-negara barat mau tidak disuruh begitu itu, teknologi?
Ini juga mereka menilai urusan urusan ekonomi. Pada umumnya bersedia misalnya saya contoh kan ketika kita mau membeli Pesawat Super Tucano, mereka mau oke kita bisa beli bikin pesawat tempur bareng dengan Brazil. Mereka minta persyaratan dari Indonesia kita setuju tetapi Brazil minta persyaratan nya oke minimal Indonesia beli dong dua Skuadron atau tiga Skuadron. Itu masuk akal lah.
Tetapi Indonesia tidak mau, jadi beli satu Skuadron akhirnya tidak bisa diteruskan. Coba kalau membelinya dua Skuadron ahli teknologi full kita sudah bisa membuat pesawat tempur sendiri. Nah itulah kendalanya.
Jadi jangan membeli pesawat atau alusista itu jangan hanya karena selera para pemimpin saja. Harus selera nasional sesuai aturan perundang-undangan
Pak TB, benar tidak sih dalam proses pemberlian alusista ini cashbacknya itu gila-gilaan?
Sulit dibuktikan, saya tidak mau seuzon. Tapi Misalnya begini ambil contoh saja membeli pesawat Qatar, Mirage, Itukan pesawat tua okelah kita tahu harus sudah kakek-kakek harus kita beli ya sudah, Itu pesawat Qatar itu dipakai oleh tentara udara Qatar, milik negara Qatar, bukan sudah milik negara membuatnya asal.
Kemudian kalau mau dibeli oleh Indonesia kenapa tidak melalui G to G, negara dengan negara akan lebih murah loh. Artinya dari sana negara Qatar menunjuk perwakilannya dari diri Indonesia menuju perwakilannya membuat MOU, harganya akan lebih murah.
Mengapa harus ada pihak ketiga yang sekarang ini saya tidak mau menyebut PT apa, tetapi PT X lah kenapa harus, nah berarti ada keuntungan juga ke pihak ketiga. Terapi kalau G to G kan tidak ada pihak ketiga jadi saya yakin berdasarkan pengalaman akan lenlbih murah dan keuangan negara bisa diirit dan hemat.
Kedua, juga harus jelas kalau membeli pesawat lawas atau pesawat tua. Pesawat ini yang mau dibeli dari Qatar ini kira-kira lifetime nya itu 10 tahun lalu kita tanya ini suku cadangnya dan maintenance nya tanggung jawab Qatar berapa tahun. Konon hanya 3 tahun. Jadi dibeli waktu hidupnya 10 tahun tapi waktu pemeliharaan dan seluruhnya 3 tahun. 7 tahun lagi kemana. Tidak bisa (ke pabrikannya).
Nah makannya tidak G to G. Kalau G to G bisa dialihkan okelah kita beli dari pabrikannya dan sebagainya. 3 tahun selesai, nah yang 7 tahun siapa yang memelihara, harus jelas itu duit besar loh. (Tribun Network/yuda).