Cita Rasa Manis Kuliner Jawa dan Sejarah Kejayaan Industri Gula di Solo
Rasa manis pada masakan Jawa itu tidak lepas dari sejarah Jawa termasuk di Solo, yang pernah menjadi produsen gula terbesar di masa kolonial
Penulis: Daryono
Editor: Garudea Prabawati
Pada masa inilah industri gula di Jawa mengalami masa keemasannya.
Berdasarkan data Vincent JH Houben dalam Kraton and Kompeni Surakarta and Yogyakarta 1830-1870 yang diterjemahkan Bambang Purwanto, Yogyakarta:Bentang hlm 299, sebagaimana dikutip dari skripsi Perubahan Kepemilikan Perusahaan Gula Mangkungeran Tahun 1946-1952 karya Wahyuningsih, 2010, pada tahun 1862, terdapat 44 perusahaan Eropa di bidang perkebunan di Solo.
Sementara jumlah pabrik gula di Surakarta sebanyak 46 pabrik gula pada tahun 1863.
Manisnya bisnis perkebunan dan gula era itu kemudian membuat penguasa Kerajaan Mangkunegaran Solo saat itu, KGPAA Mangkunegara IV (1853-1881) turut menjadi pemain.
Ia mendirikan pabrik gula Colomadu pada tahun 1861.
Pabrik Gula Colomadu didirikan di desa Krambilan, distrik Malang Jiwan yang pembangunannya di bawah pengawasan R.Kamf, seorang ahli berkebangsaan Jerman.
Biaya pembangunan pabrik gula itu sebesar f400.000 yang berasal dari keuntungan usaha kopi Mangkunegaran dan pinjaman koleganya, mayor Cina di Semarang, Beaw Bin Tjwan.
Peletakan batu pertama pembangunan PG Colomadu dilakukan pada 8 Desember 1861.
Pabrik ini diberi nama Colomadu yang berarti gunung madu.
Setahun kemudian pada 1862, pabrik ini mulai beroperasi.
Dikutip dari buku Tradisi Slamatan Giling (Cembengan) PTP XV-XVI (Persero) PG Colomadu dan Tasikmadu Tahun 1992 karya R.Ay Hilmiyah Darmawan Pontjowolo, mesin PG Colomadu didatangkan langsung dari Eropa.
Mesin-mesin ini bertenaga uap.
Tidak hanya memenuhi produksi di Jawa, produksi gula dari PG Colomadu juga dijual ke Singapura dan Bandaneira.
Keberadaan PG Colomadu menjadikan KGPAA Mangkunegara IV sebagai raja jawa dan orang Jawa pertama yang memiliki pabrik gula.
Pasalnya, pabrik-pabrik gula yang saat itu ada dimiliki oleh pengusaha Belanda, Inggris dan Tionghoa.
Sukses membangun PG Colomadu, sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 11 Juni 1871, KGPAA Mangkunegara IV membangun pabrik gula kedua yakni PG Tasikmadu.
Pabrik ini besarnya 3x Colomadu.
PG Tasikmadu selesai dibangun dan giling pertama pada 1874.
Dikutip dari buklet Jalur Gula Kembang Peradaban Kota Lama Semarang terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2017, banyaknya pabrik gula di Jawa pada masa kolonial menjadikan Pulau Jawa sebagai produsen gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba.
Hingga tahun 1925 terdapat 202 pabrik gula yang aktif di Pulau Jawa.
Industri gula saat itu juga didukung rel kereta yang menjadi alat transportasi penyokong yang jejaknya masih ada hingga saat ini.
Baca juga: Meski dengan Gula, Ini 3 Tips Memasak Mudah Kue Kering agar Lebih Sehat
Merujuk data dalam Sejarah Perusahaan-Perusahaan Kerajaan Mangkunegaran, Ak Pringgodigdo, 1987, pada tahun 1917, produksi PG Colomadu dan PG Tasikmadu ini mencapai 24.319 ton yang merupakan produksi tertinggi selama 19 tahun terakhir.
Masa keemasan industri gula di Jawa ini kemudian menurun di masa Mangkunegara VII (1916-1944), tepatnya pada 1930-an.
Industri gula menurun seiring reorganiasi agraria yang menghambat kinerja industri gula dan juga krisis ekonomi.
Kondisi ini semakin memburuk saat pendudukan Jepang dan awal Kemerdekaan hingga akhirnya PG Colomadu dan PG Tasikmadu diambil alih oleh Pemerintah Indonesia setelah Kemerdekaan RI.
Manis tapi Tetap Sehat
Makanan Jawa yang dominan manis tetap menjadi makanan sehat dan memenuhi gizi sepanjang pola konsumsinya masih dalam batas yang diperbolehkan.
“(Masakan Jawa manis) itu sudah kayak jadi taste. Mungkin kalau nggak manis nggak marem. Nah sebenarnya masakan manisnya itu ndak ada masalah sepanjang masih dalam batas yang diperbolehkan,” kata dr Indrawati SpGK, Dokter Spesialis Gizi Klinik RSUD Dr Moewardi Jawa Tengah saat dihubungi Tribunnews.com, Minggu (19/12/2021).
Menurut dr Indra, tubuh manusia membutuhkan gula sebagai sumber energi.
Gula sendiri menjadi salah satu sumber energi yang mudah digunakan.
Karena itu, yang harus lebih diperhatikan bukan pada gula itu sendiri tetapi pada tiga hal yakni jumlah, jenis dan jadwal konsumsi.
Pertama soal jumlah. Menurut dr Indra, jumlah gula yang dikonsumsi oleh tubuh haruslah sesuai.
Hal ini karena setiap orang kebutuhannya bisa berbeda-beda tergantung pada berat badan, jenis kelamin, aktivitas dan kondisi tubuh bagi orang yang memiliki penyakit tertentu.
“Jumlahnya harus sesuai. Kalau jumlahnya berlebih itu memang bisa jadi penyakit,” ujar dia.
Kedua soal jenisnya. Dikatakannya, untuk makanan manis seperti jeroan tentu itu beresiko untuk menaikkan kolesterol.
Tetapi bagi masakan Jawa lainnya seperti tempe bacem, ayam kecap atau telur, sekalipun manis hal itu tetap diperlukan tubuh sebagai sumber protein.
dr Indra menilai, masakan Jawa umumnya kurang serat karena itu ia menyarankan agar sumber serat diperhatikan seperti sayur dan buah.
Ketiga soal jadwal konsumsi. Dikatakannya, secara umum ada lima waktu yang dibagi menjadi dua kali makan besar dan dua makan selingan (snack/cemilan).
“Jadi prinsipnya ndak papa (makan manis Jawa). Manis itu cita rasa. Hanya konsumsinya harus memperhatkan tiga hal tadi,” ujarnya.
Baca juga: Terapi Insulin Selamatkan dan Meningkatkan Kualitas Hidup Orang dengan Diabetes
Terkait kekhawatiran diabetes, dr Indra menyatakan diabetes tidak serta merta diakibatkan oleh makanan.
Ia mengakui, diabetes salah satunya bisa disebabkan oleh pola makan berlebih yang cenderung menyebabkan obesitas.
Saat obesitas, maka seseorang itu menjadi beresiko tinggi terkena diabetes.
Namun demikian, ada banyak faktor yang membuat seseorang bisa terkena diabetes.
“Bisa karena jadwal makan, ada juga dari faktor genetik (keturunan). Hal itu juga membawa peran untk terjadinya diabetes. Jadi tidak hanya dari makanan dan minuman saja. Kita jangan hanya men-judge dari makanan manis. Makan manisnya itu seberapa, kalau melebihi dan kemudian obesitas ya memang resiko diabetes lebih tinggi,” bebernya.
dr Indra menyarankan agar pemenuhan gizi dilakukan secara seimbang yakni terdapat sumber karbohidrat, lemat, protein, mineral dan vitamin. Masyarakat bisa berpedoman pada Isi Piringku yang direkomendasikan Kementerian Kesehatan.
Terdiri dari makanan pokok, lauk-pauk, sayuran dan buah.
“Proporsinya semua ada di sana sehingga semua gizi yang dibutuhkan tubuh terpenuhi,” jelasnya.(*)