Komnas HAM Dorong Polisi Tangani Kasus Masyarakat Adat di Sihaporas lewat Restoratif Justice
Komnas HAM RI mendorong kepolisian menangani kasus terkait masyarakat adat di Sihaporas secara keadilan restoratif atau restoratif justice.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Malvyandie Haryadi
"Kami bertemu dengan pihak Kapolres Simalungun dan Kejaksaan Negeri setempat dan mereka memberikan jaminan bahwa segala tindakan yang mereka lakukan telah sesuai dengan SOP yang berlaku," sambung dia.
Terkait dengan masalah klaim lahan atau wilayah adat masyarakat di Sihaporas, kata dia, pihaknya telah berupaya mencoba untuk mendapatakan kejelasan mengenai keberadaan warga masyarakat adat tersebut.
Hal tersebut, kata dia, karena harus ada prosedur yang dipenuhi dalam proses perlindungan dan pengakuan masyarakat adat.
Untuk itu, kata dia, Komnas HAM menanyakan langsung kepada para pendamping yang paham mengenai aturan-aturan tersebut.
Menurutnya, apa yang disampaikan para pendamping, masyarakat adat tersebut telah menguasai dan memanfaatkan lahan di sana secara turun temurun.
Akan tetapi, kata dia, belum bisa dipastikan mengenai eksistensi keberadaan masyarakat adat.
"Untuk itu Komnas HAM merekomendasikan supaya dilakukan kajian antropologis sebenarnya untuk bisa memperkuat pembuktian," kata dia.
"Karena memang ada kekhawatiran dari pihak Kabupaten Simalungun apabila ini diberikan pengakuan, tentunya warga adat yang lain pun juga akan merespons, merespona dalam artian mungkin menolak atas pengakuan masyarakat hukum adat Sihaporas ini," sambung dia.
Dalam proses tersebut, kata dia, pihaknya juga telah bertemu dengan pihak Pemkab maupun pihak Provinsi.
Untuk itu, kata dia, pihaknya menyimpukan perlu dilakukan sebuah kajian independen untuk bisa memperkuat pengakuan atau perlindungan yang harus diberikan kepada masyarakat adat tersebut.
"Namun di sisi lain kita juga melihat kehidupan masyarakat setempat. Jadi kami ingin memastikan bahwa hak-hak kesejahteraan, kehidupan mereka juga aman, dan terus bisa mendapatkan penghasilan dari sumber daya alam yang ada di sana," kata dia.
"Untuk itu kami pun juga sudah merekomendasikan baik ke perusahaan maupun kelompok masyarakat ini untuk bisa melakukan perdamaian. Perdamaian dalam artian harus ada komunikasi dan musyawarah, sebenarnya apa yang masyarakat perlukan dan apa yang perusahaan bisa berikan," sambung dia.
Dengan demikian, kata dia, masyarakat tetap bisa memperjuangkan hak wilayah adat ke pemerintah, namun di sisi lain di lapangan, pihaknya juga ingin memastikan bahwa hak kesejahteraan warga lokal betul-betul bisa terpenuhi.
"Untuk itu kami mendorong tidak hanya kepada warga tetapi juga kepasa perusahaan untuk bisa melakukan kesepakatan perdamaian dengan memberikan akses pengelolaan kawasan hutan. Karena itu statusnya masih kawasan hutan negara. Untuk bisa sama-sama memanfaatkan dan untuk kesejahteraan masyarakat," kata Prabianto.