Kondisi ini pun membuat beberapa negara maju seperti Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan kontraktif dengan mendorong penguatan Dollar AS terhadap nilai tukar negara di Dunia.
“Namun yang menarik, pelemahan nilai tukar terdalam justru dihadapi oleh currency negara-negara maju dibandingkan negara berkembang, termasuk Indonesia,” ucap Panji dalam acara Economy Outlook secara daring, (4/10/2022).
Baca juga: 3 Industri yang Diprediksi Stabil di Tengah Resesi Ekonomi, Salah Satunya Ekspedisi Pengiriman
Kemudian tantangan lain, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi di bulan September 2022 telah menginjak level 1,17 persen secara month on month (mom) atau sebesar 5,95 persen secara year on year (yoy).
Faktornya adalah, kenaikan harga energi. Hal ini juga yang menjadi alasan Pemerintah mengurangi subsidi BBM untuk mengurangi tekanan pada APBN.
Meski begitu, Panji menambahkan ada indikator positif yang bisa dipetik dari angka inflasi tersebut.
Pertama, inflasi year to date (ytd) relatif rendah dibandingkan negara-negara lain, yaitu 4,84 persen.
Memakai asumsi tekanan inflasi di Oktober hingga Desember melandai, maka inflasi akhir tahun 2022 masih akan sesuai dengan prediksi Tim Ekonom Bank Mandiri yakni di kisaran 6,27 persen.
Kedua, pemerintah bersama-sama dengan Bank Indonesia (BI) tengah berupaya untuk menjaga inflasi pangan berada di level stabil.
Tujuannya, agar daya beli masyarakat tetap terjaga hingga akhir tahun.