Menurut Niam, memang dalam pelaksanaan ibadah membutuhkan media untuk penyiaran, termasuk azan.
"Tapi dalam pelaksanaannya perlu diatur agar berdampak baik bagi masyarakat."
"Jemaah dapat mendengar syiar, namun tidak menimbulkan mafsadah (kerusakan)," jelas Niam.
Oleh karena itu, perlu adanya sebagai pedoman bersama.
Kendati demikian, menurut Niam, dalam penerapannya, pemerintah juga perlu memperhatikan kearifan lokal yang tidak bisa digeneralisir.
"Kalau di suatu daerah, terbiasa dengan tata cara yang sudah disepakati bersama, dan itu diterima secara umum, maka itu bisa dijadikan pijakan. Jadi (harapannya dalam) penerapannya tidak kaku," lanjut Niam.
KSP Minta Masyarakat Tak Terpancing Narasi Negatif
Diwartakan Tribunnews.com sebelumnya, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Rumadi Akhmad meminta masyarakat agar tidak salah mengartikan SE ini.
Baca juga: PROFIL Yaqut Cholil Qoumas, Menag yang Rilis Aturan soal Toa di Masjid-Musala, Hartanya Rp 11,1 M
Pihaknya memastikan, substansi SE No 05/2022 itu tidak berniat untuk melakukan pelarangan terhadap penggunaan pengeras suara masjid ataupun musala.
Hanya saja, SE ini diterbitkan sebagai pedoman masyarakat hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain.
"SE Menag ini menjadi jalan tengah dari berbagai kepentingan untuk mewujudkan toleransi dan harmoni sosial."
"Jadi tidak benar jika ada yang menarasikan SE ini dianggap melarang pengeras suara," kata Rumadi, Selasa (22/2/2022).
Rumadi menjelaskan persoalan pengeras suara di tempat ibadah sudah lama menjadi perbincangan.
Terutama di daerah-daerah yang plural.
Baca juga: Imbas Pernyataan Menag: Tagar Soal Menag Yaqut Jadi Trending Topic hingga Dilaporkan Roy Suryo