Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ashri Fadilla
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - TNI berencana mengajukan tambahan kementerian dan lembaga sipil yang dapat diisi oleh prajurit aktif.
Rencana pengajuan tambahan itu tertuang dalam paparan revisi Undang-Undang TNI.
Terkait rencana pengajuan itu, penolakan pun bermunculan dari berbagai kalangan.
Salah satu alasannya, penambahan itu dianggap akan semakin menguatkan doktrin dwifungsi militer di Indonesia.
"Ini yang berbahaya karena akan menghidupkan kembali praktek dwifungsi TNI yang dulu diterapkan pada masa orde baru," ujar Direktur Imparsial, Gufron Mabruri dalam diskusi bertajuk Refleksi 25 Tahun Reformasi: RUU TNI Mengancam Demokrasi dan Melanggar Konstitusi pada Minggu (21/5/2023)
Salah satu kementerian yang diajukan untuk diisi prajurit aktif, lekat dengan urusan perekonomian.
Baca juga: Netralitas Aparatur Sipil Negara dalam Pelaksanaan Pemilu
Padahal urusan perekonomian merupakan ranah masyarakat sipil.
Oleh sebab itu, Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid menilai bahwa pengajuan tersebut akan melemahkan karier sipil di kalangan kementerian.
Selain itu, pengajuan penempatan prajurit aktif di kementerian tersebut dianggap justru memundurkan agenda reformasi.
"Sampai menyeret TNI di dalam urusan-urusan ekonomi atau urusan pelaksanaan pembangunan ekonomi yang sama sekali bukan ranah militer, saya kira ini adalah bukti baru betapa pemerintahan yang sekarang ini memundurkan agenda reformasi, memundurkan agenda reformasi TNI," kata Usman dalam kesempatan yang sama.
Secara jumlah, KontraS mencatat adanya peningkatan jumlah jabatan sipil yang diisi oleh prajurit aktif TNI.
Selama periode Oktober 2020 hingga September 2021, terdapat enam pengangkatan prajurit aktif pada jabatan sipil.
"Jumlah tersebut melebihi periode sebelumnya dengan jumlah empat kali pengangkatan," kata Wakil Koordinator KontraS, Andi Rezaldy.