Masa-masa belakangan sudah terlihat bagaimana Arab Saudi lebih mesra dengan China dan Rusia, sebagai partner perdagangan dan investasi.
Arab Saudi juga sudah menyatakan keinginannya bergabung dengan blok ekonomi BRICS yang diinisiasi Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan.
Kunjungan Presiden China Xi Jinping disambut lebih istimewa ketimbang kehadiran Presiden AS Joe Biden di Riyadh.
Begitu pula saat Presiden Rusia Vadimir Putin mengadakan kunjungan kenegaraan ke sejumlah negara Arab. Ia disambut sangat hangat dan meriah.
Suka tidak suka, kekuatan hegemonis seperti AS, Inggris, dan negara-negara NATO lain semakin tidak disukai dan sulit diterima.
Dunia bergerak semakin multipolar. Banyak negara ingin tumbuh mandiri, membangun wilayahnya menggunakan kekayaan dan sumber daya yang dimilikinya.
Di benua Afrika semakin tumbuh kesadaran menjauh dari pengaruh dan kuasa negara-negara kolonialis imperialis yang mendominasi kehidupan mereka selama berabad-abad.
Niger dan Mali sudah mengusir kekuatan militer Prancis. Bagi Prancis, perubahan sikap Niger ini sangat merisaukan.
Prancis bisa kehilangan sumber pasokan bahan energi nuklir yang menghidupi pusat-pusat tenaga nuklir mereka. Niger adalah sumber utama uranium bagi Prancis.
Tetapi berpuluh-puluh tahun eksploitasi uranium oleh Prancis, tak membawa negara itu dalam kemakmuran.
Kemiskinan masih jadi masalah pokok, ditambah konflik-konflik militer serta persengketaan domestik di Niger yang dilanggengkan kekuatan kolonialis.
Negara-negara di Afrika saat ini menoleh ke China dan Rusia. Modernisasi di Ethiopia, Kenya, Rwanda dan lain-lain adalah sebagian kontribusi Beijing.
Sementara Rusia memasok bahan pangan seperti gandum yang sangat dibutuhkan sejumlah negara Afrika.
Karakter kontribusi kedua negara ini bagi Afrika amat berbeda dengan AS dan negara-negara Eropa eks kolonialis Afrika.
Mereka lebih setara, sekalipun tetap saja memiliki agenda politik dan geopolitik atas upaya mereka merangkul kekuatan benua Afrika.
Dalam konteks ini, mestinya Gedung Putih berpikir dalam-dalam jika mereka ingiin membuka konflik terbuka dengan Iran.
Ketidakmampuan Israel melenyapkan Hamas di Gaza adalah kekalahan politik.
Ketidakmampuan AS membangun iklim damai di Timur Tengah adalah kekalahan lainnya.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)