Krisis Pangan di Tunisia: Bahan Pokok Langka, Pemerintah Salahkan Perang Ukraina
Tunisia mengalami krisis pangan, bahan pokok langka hingga membuat orang-orang mengantre berjam-jam untuk mendapatkan makanan.
Penulis: Rica Agustina
Editor: Miftah
Dalam sebuah pernyataan, Salvation Front, sebuah koalisi dari lima partai oposisi dan beberapa kelompok independen, menyebut demonstrasi tersebut sebagai tanda "ledakan umum dan runtuhnya tatanan sosial dan politik".
Sekretaris jenderal serikat pekerja kuat UGTT, Noureddine Taboubi, menyalahkan anggaran negara yang terlalu terbebani.
Pemerintah saat ini sedang menegosiasikan pinjaman $ 2 miliar (sekitar Rp 30,7 triliun) hingga $ 4 miliar (sekitar Rp 61,4 triliun) dengan IMF untuk mengatasi defisit anggaran yang diperparah oleh pandemi COVID-19 dan dampak dari perang Rusia di Ukraina.
Delegasi tingkat tinggi Tunisia pergi ke Washington pada hari Sabtu dengan harapan menyelesaikan kesepakatan.
Sebagai imbalannya, Tunisia harus berkomitmen pada reformasi yang menyakitkan, termasuk menyusutkan sektor administrasi publik yang menghabiskan sekitar sepertiga dari anggaran negara.
IMF juga menuntut pencabutan bertahap subsidi dan privatisasi perusahaan milik negara, yang menyiratkan PHK besar-besaran dan memburuknya pengangguran, sudah mencapai 18 persen menurut angka terbaru Bank Dunia.
Dihadapkan dengan prospek yang suram seperti itu, rakyat Tunisia semakin tidak ragu lagi mempertaruhkan nyawa mereka untuk mencoba mencapai Eropa dalam mencari kehidupan yang lebih baik.
Forum Tunisia untuk Hak Ekonomi dan Sosial, sebuah LSM yang memantau migrasi dengan cermat, mengatakan 507 migran Tunisia telah meninggal atau hilang sejauh ini pada tahun 2022 ketika mereka mencoba menyeberangi Laut Mediterania yang berbahaya.
Menurut juru bicara Garda Nasional Houssameddine Jebabli, penjaga pantai menggagalkan lebih dari 1.500 upaya migrasi ilegal ke Italia dari Januari hingga September 2022, yang melibatkan seluruh keluarga termasuk hampir 2.500 anak-anak.
(Tribunnews.com/Rica Agustina)