Strategi 3 Capres Gaet Suara Gen Z dan Milenial di Pilpres 2024: Gemoy hingga One Piece
Mayoritas pemilih di Pilpres 2024 ini didominasi oleh kalangan milenial dan Gen Z.
Editor: Hasanudin Aco
Dalam sebuah video yang diproduksi oleh Tim Kampanye Nasional Pemilih Muda (Fanta) Prabowo-Gibran, yang khusus tertuju pada pemilih muda, mereka menggunakan foto ilustrasi 'gemoy' tersebut diiringi lagu suporter sepak bola dengan lirik diubah untuk mendukung Prabowo.
Meski begitu, dari ketiga calon presiden yang ada, Prabowo merupakan satu-satunya yang tidak memiliki akun TikTok. Prabowo memiliki akun Instagram, di mana ia sering mengunggah video gambar sketsa bernuansa nasionalisme.
Dedek Prayudi menjelaskan bahwa timnya hanya mengamplifikasi sebutan itu, sekaligus mengikuti arah yang diinginkan para pendukung di akar rumput.
Ia juga tidak menampik bahwa selama masa kampanye, TKN Prabowo-Gibran memang memfokuskan upaya mereka pada memanfaatkan media sosial sebagai sarana untuk menjangkau para pemilih muda.
“Salah satu strategi kami, yaitu mengangkat melalui seluruh platform dan format media untuk menyebarluaskan sisi-sisi baik dari Pak Prabowo juga Mas Gibran,” ujarnya.
Menurut laporan Meta Ad Library, yang menunjukkan jumlah dana yang disuntikan masing-masing pengiklan untuk mengangkat visibilitas unggahan pada akun-akun tertentu selama tiga bulan, akun centang biru milik Prabowo Subianto dipromosikan dengan dana senilai Rp1,3 miliar oleh Indonesia Adil Makmur.
Ada pula akun relawan bertajuk Bakti Untuk Rakyat yang mengeluarkan dana Rp653 juta untuk mendongkrak unggahan mereka agar terlihat oleh para pengguna media sosial.
Jika dijumlahkan dengan akun-akun media sosial lainnya yang mendukung Prabowo, baik yang resmi dioperasikan TPN maupun akun relawan, total dana untuk pengiklanan di Meta mencapai Rp2,27 miliar hanya dalam waktu tiga bulan.
Rahayu Sartika Dewi, perempuan berusia 22 tahun yang mendukung pasangan Prabowo-Gibran, merasakan betul banyaknya konten politik yang muncul di for you page (fyp) dia dalam beberapa pekan terakhir.
Ia mengaku terkejut saat mendengar bahwa dana sebesar Rp2,27 miliar berada di balik banyaknya konten Pilpres yang ia temui di media sosial.
“Menurutku itu agak berlebihan, tapi memang berdampak. Itu terlalu aneh, tapi karena sekarang media kreatif lagi booming jadi menurut aku tidak apa-apa sekarang,”ungkap Tika.
Terkait citra ‘gemoy’ yang dibawakan tim kampanye Prabowo, Tika merasa bahwa hal itu justru mengurangi kewibawaan Prabowo. Sebab, menurut Tika yang seharusnya ditonjolkan adalah sisi humanis dan peduli dari Prabowo, ketimbang ‘lucu-lucunya’.
“Jadi dia itu nggak cuma gemoy, dia juga memiliki gagasan yang kuat dan rasa kemanusiaan tinggi,” ketusnya.
3. Strategi Ganjar-Mahfud MD
Di tengah kembali ramainya serial film The Hunger Games dengan rilis film terbaru “The Hunger Games: Ballad of Songbirds & Snakes”, para pemilih muda melihat kemiripan antara tanda tiga jari yang digunakan Ganjar Pranowo dan karakter utama Hunger Games, yakni Katniss Everdeen.
Berbeda dengan salam metal tiga jari yang sebelumnya digunakan oleh PDI-P, Ganjar mengacungkan three finger salute ala film The Hunger Games dengan mengangkat jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis.
Dalam sebuah cuitan, ia menjelaskan makna di balik tanda tiga jari tersebut.
"Tiga jari tiga janji: Taat pada Tuhan, patuh pada hukum, dan setia pada rakyat," tulis Ganjar dalam deskripsi video akun TikTok-nya.
Namun, ini bukan pertama kalinya Ganjar disebut menggunakan tren kekinian untuk menggaet generasi muda.
Dalam salah satu video TikTok-nya, Ganjar mengaku seorang Army alias penggemar grup asal Korea Selatan BTS, sebelum kemudian mukanya diedit menjadi Jungkook BTS dan muncul foto-foto anggota lain dibarengi dengan lagu Standing Next To You dari Jungkook BTS.
Pengamat Komunikasi Politik BRIN, Nina Andriana, mengatakan citra tersebut merupakan bagian dari citra Ganjar yang ingin dibangun untuk memperkenalkan dirinya ke publik.
Terkait salam tiga jari itu, Nina mengatakan bahwa lewat gestur tersebut, Ganjar ingin menggaungkan unsur perlawanan.
“Apa yang terjadi dalam politik Indonesia saat ini telah terjadi sebuah penyimpangan-penyimpangan yang harus dilawan, itu yang saya lihat, brand yang sedang dibangun oleh Pak Ganjar,” katanya.
Direktur Eksekutif Komunikasi Informasi & Juru Bicara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Yostinus Tomi Aryanto, mengatakan bahwa Ganjar dan calon wakilnya Mahfud Md memang memiliki media sosial yang digunakan sebagai sarana kampanye sekaligus untuk kegunaan pribadi.
“Karena memang dari sejak sebelumnya kedua kadidat ini Pak Ganjar dan Pak Mahfud memang sudah aktif [di media sosial]. Bukan orang yang tidak mengenal medsos sebelumnya,” ujar Tomi kepada BBC News Indonesia.
Meskipun TPN Ganjar-Mahfud mengeklaim hanya mengkurasi dan menyebarkan konten di media sosial pribadi masing-masing calon, kegiatan produksi dan penyebaran konten lebih banyak dilakukan oleh ‘pasukan relawan’ Ganjar.
Berdasarkan data akun-akun yang berada dalam database Meta Ad Library, terdapat lebih dari 75 akun pendukung Ganjar-Mahfud yang mayoritas dioperasikan (atau paling tidak disponsori dalam hal beriklan) oleh kelompok Ganjar Nusantara Indonesia.
Jika dijumlahkan, total dana yang dikeluarkan oleh kelompok-kelompok relawan Ganjar untuk beriklan di media sosial lewat Meta berjumlah Rp847,2 juta.
Tomi mengatakan bahwa TPN tidak pernah mengalirkan dana secara langsung kepada grup-grup relawan, karena mereka pun hanya memantau saja dan memberikan ide dan gagasan yang bisa disalurkan.
Widodo, 24, mengatakan dirinya tertarik untuk memilih Ganjar karena dari ketiga calon yang berkontestasi dalam Pilpres 2024, ia merasa Ganjar adalah sosok yang paling bisa merepresentasikan orang muda.
“Beberapa pasangan calon yang lain agak maksa dibanding Pak Ganjar. Pak Ganjar enggak menyasar yang muda banget tapi yang tidak terlalu oldies atau terlalu baby boomers juga secara unggahan,” ujar Widodo.
Menurut dia, komunikasi lewat media sosial menjadi hal yang sangat penting untuk dikuasai masing-masing capres maupun tim pendukungnya. Walaupun ia sendiri merasa bahwa konten di media sosial yang dikemas untuk Gen Z kurang mewakili generasinya.
“Saya pribadi dan teman-temanku tersinggung ketika paslon hanya mementingkan pencitraan. [Ketika] harus terlihat baik, terlihat ya udah yang penting pencitraan di sosmed saja,” katanya.
Algoritma media sosial yang mendukung calon
Pengamat Budaya dan Komunikasi Digital dari Universitas Indonesia, Firman Kurniawan, mengatakan dalam pemilu tahun ini, media sosial menjadi salah satu sarana paling krusial dalam berkampanye.
Hal ini disebabkan besarnya presentase pemilih muda, yakni Milennial dan Gen Z, yang mendominasi lebih dari 50 persen suara.
“Sehingga publik akan merasakan perbedaan tema konten di media sosial dan ruang publik. Akan ada lebih banyak materi atau konten yang mendukung kandidat,“ ujar Firman.
Ia menjelaskan algoritma dalam media sosial memberikan kemudahan bagi tim kampanye untuk memproduksi konten yang dapat disesuaikan dengan profil audiens yang mereka sasar, berdasarkan usia, letak geografis maupun jenis kelamin.
“Saya akan terjebak ke dalam echo chamber, [konten] ini akan masif kalau dari kuantitas. Dari 10 sampai 15 unggahan yang diproduksi dan didistribusi kandidat tertentu, saya bisa terpapar antara tujuh sampai 12,“ katanya.
Berdasarkan laporan Hootsuite We Are Social 2023, lembaga yang menyajikan data beserta tren yang dibutuhkan dalam memahami internet, media sosial dan perilaku e-commerce, penetrasi internet Indonesia cukup besar.
Sebanyak 64,4 persen masyarakat Indonesia menggunakan internet, atau setara dengan 212 juta penduduk.
Sementara, 77 persen dari pengguna internet Indonesia atau setara dengan 167 juta orang, merupakan pengguna media sosial. Firman mengatakan bahwa semakin banyak orang di daerah luar perkotaan mulai beralih menggunakan media sosial dan internet.
“Terlihat ada aktivitas internet yang cukup masif, terutama terindikasi dari Google search. Mereka mencari produk-produk,
terutama mereka mencari informasi tentang kandidat dan partai politik,” ujarnya.
Sehingga, ketika seorang kandidat memiliki dana besar dan sumber daya yang kuat untuk memproduksi konten dalam jumlah tinggi, maka calon tersebut dapat dengan mudah mendominasi lanskap media sosial para pengguna.
‘Jangan sampai hanya yang ringan saja yang diberikan’
Peneliti PRP BRIN bidang Komunikasi Politik, Nina Andriana, mengatakan media sosial dapat dimanfaatkan tim kampanye untuk memperlihatkan hanya sisi-sisi positif dari para calon sekaligus menyembunyikan sisi buruk yang mereka tidak ingin publik tahu.
“Gimik-gimik yang diciptakan di sosmed itu bisa menutupi, saya tadinya ingin bersikap positif bahwa TPN akan lebih cerdas menjadi bagian dari seorang edukator politik, tapi saya melihat mereka sangat melihat bahwa ini yang paling tepat,“ ujarnya.
Nina khawatir bahwa dalam upaya tim kampanye menggaet suara Gen Z, mereka akan cenderung hanya memperlihatkan sisi lucu, ringan atau ‘gemoy‘ kandidat.
Padahal kebanyakan dari Gen Z mendapatkan informasi mereka dari konten media sosial.
“Mereka akan mengambil kesempatan apapun yang ada supaya calon mereka menang, dan suara terbesar adalah Gen Z. Bagaimana cara mendekatinya? Dengan yang ringan-ringan, gimik-gimik politik ini. Yang penting mereka ingat,“ katanya.
Ia memperingatkan tim kampanye agar tetap bertanggung jawab dalam mengembangkan pemahaman para pemilih muda terhadap calon-calon mereka.
Karena masyarakat pun sudah semakin cerdas dan kritis dalam menyikapi suasana politik.
“Dalam masa kampanye jangan gimik itu terus yang jadi andalan, harus ingat bahwa masyarakat sudah mulai cerdas dan mereka ingin tahu calon-calon ini akan melakukan apa secara riil,” kata Nina.
Sumber: BBC Indonesia/Tribunnews.com