Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Rekomendasi ICJR dalam Pemberantasan TPPO: Tingkatkan Kapasitas Aparat Penegak Hukum

Maidina Rahmawati mengatakan, pihaknya memberikan rekomendasi agar sedianya kapasitas aparat penegak hukum (APH) di Indonesia ditingkatkan.

Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Muhammad Zulfikar
zoom-in Rekomendasi ICJR dalam Pemberantasan TPPO: Tingkatkan Kapasitas Aparat Penegak Hukum
Gita Irawan/Tribunnews.com
Peneliti Institut for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati. ICJR mengeluarkan rekomendasi atas temuannya terkait Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). 

Padahal kata dia, ada banyak proses, termasuk penampungan, pemindahan, bahkan sesederhana penerimaan.

"Tapi penegak hukum itu hanya mengamini itu bahwa itu hanya proses rekrutmen, lalu harus ada pemindahan orang padahal tidak harus," kata dia.

Baca juga: Mahfud MD: Sudah Ada 5 Oknum Pejabat Tersangka TPPO

Lalu kemudian, aparat penegak hukum kata Maidina, masih menemukan kesulitan untuk menjelaskan perbedaan TPPO dengan terjadinya bentuk eksploitasi lain.

Hal itu seperti kerja paksa, eksploitasi kerja migran, eksploitasi seksual dan penyelundupan manusia.

Kemudian, APH dalam temuan ICJR mayoritas menyatakan belum pernah ada penerapan penanganan perkara TPPO dengan bentuk kerja paksa di wilayah Indonesia.

Dengan adanya anggapan ini, Maidina meyakini kalau seolah-olah TPPO bentuknya hanya untuk pekerja migran atau hanya untuk kerja di luar negeri.

"Padahal di lingkup domestik kalau dia ada unsur paksa kalau ada unsur prosesnya dan eksploitasi nya maka sebenarnya dia bisa didefinisikan sebagai tindak pidana perdagangan orang," kata dia.

Berita Rekomendasi

"Ternyata APH belum pernah menangani TPPO dalam lingkup yang terjadi di wilayah Indonesia untuk kerja paksa ataupun eksploitasi kerja," tuturnya.

Di akhir, APH kata Maidina, menilai masih sulit untuk menjerat pelakutindak kejahatan yang terorganisir dan transnasional.

Kata dia, profil pelaku yang mayoritas disebutkan adalah daftar pencarian orang (DPO), yang putus atau tidak bisa ditrack peranannya.

Atas hal itu kondisi tersebut yang menjadi pengajuan APH menjadi sulit untuk melalukan penegakan.

"Misalnya di dalam jawaban disebutkan dia bergantung sama korban, korban tidak kenal dengan pelaku jadi tidak ada penegakan hukum lanjutan, kami juga temukan gitu," ucap Maidina.

Tak cukup disitu, APH juga menyatakan kalau banyak DPO yang disebutkan sebagai pelaku utama. Namun, jaksa tidak punya kewenangan atau follow up untuk menindaklanjuti DPO tersebut bisa dijerat.

Alhasil kata dia, ada pelaku utama dari TPPO ini tidak dijerat karena tidak ada kewenangan yang lebih tinggi dalam hal ini jaksa ataupun hakim yang bisa mengenforce bahwa si DPO itu juga dijerat secara pidana.

"Ini menjadi catatan mendasar kebijakan TPPO dan juga ini secara umum di kejahatan terorganisir di Indonesia," tukas dia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas