“Sementara Putusan MK No.90/PUU-XXI/ 2023, tetap dilaksanakan sebagai konsekuensi dari sifat putusan MK yang final dan mengikat, meskipun cacat hukum,” ujar Carrel.
Oleh karena itu, Carrel berharap DPR dan Presiden segera merevisi sifat final dan mengikat dari putusan MK agar diseleraskan dengan ketentuan Pasal 17 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sementara itu, Ketua PBHI Julius Ibrani berpandangan Putusan MKMK No. 02/MKMK/L/11/2023 membuktikan telah terjadi conflict of interest dengan basisnya adalah Anwar Usman dan Gibran Rakabuming Raka, memiliki hubungan keluarga.
“Keanehan terjadi karena pemohon uji materil (Almas) mengajukan Gibran sebagai legal standingnya. Oleh karena itu, dalam hal demikian Pemohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan Peemohonan Uji Materil ke MK,” ujar Julius Ibrani.
Julius menegaskan Pemohon sebenarnya adalah proxy Gibran, karena dalam legal standing Pemohon, yang dibahas adalah tentang Gibran Rakabuming Raka dan suksesnya membangun Kota Surakarta.
“Semua hal terkait penyimpangan dalam proses Uji Materiil Perkara No. 90/PUU-XXI/2023, terungkap lewat sidang MKMK, antara lain terungkap bahwa MK telah membuka ruang intervensi pihak luar dalam proses persidangan MK 90/PUU-XXI/2023,” ujar Julius.
Lebih lanjut, Julius mengungkap penyimpangan lain yang dilakukan Hakim Konstirusi dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 adalah menambahkan klausa “pernah/sedang menduduki jabatan publik” yang sebelumnya tidak ada dalam Pasal 169 hurf q, juga di dalam Permohonan Uji Materiil itu tidak ditandatangani oleh Pemohon tetapi diproses.
Dia menilai pelanggaran etik melalui mekanisme yudisial dalam Putusan 90/PUU-XXI/2023 ketika disinkronkan dengan hubungan kekerabatan Anwar Usaman dan Gibran, menghasilkan dugaan adanya tujuan tertentu yang ingin dicapai yaitu pencawapresan Gibran Rakabiming Raka.
“Jadi, telah terjadi pelanggaran yang keras terhadap konstitusi negara (constitutional hard ball), termasuk terjadinya penyelundupan hukum dalam Putusan MK 90/PUU-XXI/2023,” tegas Julius Ibrani.
Baca juga: Keputusan KPU Terima Pendaftaran Pasangan Prabowo-Gibran Digugat ke Bawaslu
Julius Ibrani menegaskan bahwa Pemilu 2024 hanya menjadi agenda yang sia-sia atau rekayasa dari sesuatu yang sudah kita ketahui, mengalami kekuasaan despotik, memperkuat nepotisme Jokowi, merusak citra anaknya sendiri (Gibran) sekaligus merusak demokrasi.
“Dengan demikian, dinasti politik dan nepotisme Jokowi, dampaknya akan mencederai demokrasi dalam pemilu 2024. Sebab, Dinasti Politik dan Nepotisme bertentangan dengan hukum positif,” ujar Julius Ibrani.